TUGAS MANDIRI
EKONOMI PEDESAAN
Nama : Fajri
Arif Wibawa
NPM : 11210082
Prodi : Pendidikan
Ekonomi
Matakuliah : Ekonomi
Pedesaan
Dosen : Drs.
Sastra Irawan, SE.
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
SEPTEMBER
2011
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Dengan
mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan
kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada :
1.
Bapak Drs. Sastra Irawan, SE. selaku
dosen mata kuliah Ekonomi Pedesaan.
2.
Kedua orang tua saya yang selalu memberikan semangat
kepada kami.
3.
Semua pihak yang
telah berkenan memberikan bantuan-bantuan.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah
ini, masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga pembuatan
makalah yang akan datang dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul ............................................................................................ i
Kata
Pengantar ........................................................................................... ii
Daftar
Isi ....................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar
Belakang ................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah..........................................................................
3
1.3
Tujuan .............................................................................................. 4
1.4
Manfaat ............................................................................................ 5
1.5 Metode Pencarian Materi .............................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 6
2.1 Pengertian Masyarakat Desa ....................................................... 6
2.2 Ciri-ciri Masyarakat Desa .............................................................. 9
2.3 Perebedaan Masyarakat Pedesaan
Dengan Perkotaan ......... 7
2.4 Pentingnya
Peningkatan Perekonmian Desa ......................... 11
2.5 Pentingnya Migrasi Sirkuler
sebagai Faktor Peningkatan Ekonomi Desa 13
2.6 Dampak Migrasi Sirkuler
terhadap Peningkatan Ekonomi
..... Desa
................................................................................................. 13
2.7 Peningkatan Ekonomi Desa
dalam Peningkatkan Pembangunan Ekonomi Indonesia 21
2.8 Masalah Pembangunan Perdesaan ......................................... 22
2.9 Pemberdayaan Masyarakat Desa .............................................. 26
2.10 Pembangunan Ekonomi Perdesaan ....................................... 31
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 40
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 40
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data pada tahun 2006, yang diungkapkan oleh Menteri Pembangunan
Desa Tertinggal kala itu, diketahui bahwa jumlah desa di Indonesia adalah
sekitar 70.611 desa, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa
tertinggal. Untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia, tentunya tak dapat lepas dari
pembangunan ekonomi di desa-desa yang ada di negara ini. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dikaji hubungan antara migrasi dan pertumbuhan ekonomi di
desa, sejauh mana peranan pembangunan ekonomi desa melalui migrasi sirkuler
dapat meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Goldscheider (1985)
menggambarkan adanya variasi tipe-tipe migrasi yang kompleks dalam struktur
sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, perubahan struktur sosial masyarakat
tidak hanya mengubah pola-pola migrasi, tetapi perubahan migrasi secara
perlahan-lahan bisa mengubah struktur sosial masyarakat di suatu komunitas atau
kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Menurut Todaro(2004),
migrasi adalah suatu proses perpindahan sumber daya manusia dari tempat-tempat
yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjin sosialnya
bukan hanya positif, tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya
akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Pelaku migrasi sirkuler
sebagian besar terdiri dari: buruh tani, penduduk pedesaan yang bukan petani
(pedaganng, tukang dengan keterampilan tertentu, buruh serabutan), dan
penganggur (tanpa pendidikan dan/atau dengan sedikit bekal pendidikan). Di
samping itu, diantara mereka terdapat pula petani kecil/ gurem dan/atau petani
yang tidak bertanah (punya tanah dan punya modal) yang turut ambil bagian dalam
kegiatan migrasi sirkuler ini.
Terkait dengan ulasan di atas migrasi dapat menyebabkan adanya
transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi dapat didefinisikan
sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan sosial-ekonomi (sebagai
akibat pembangunan). Lee (1966) dalam teorinya “ Dorong – Tarik” (Push-Pull Theory) berpendapat
bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh faktor pendorong di desa dan
penarik di kota. Teori tersebut menerangkan tentang proses pengambilan
keputusan untuk bermigrasi yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:
faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang terdapat di
daerah tujuan, faktor-faktor rintangan, dan faktor-faktor pribadi.
Faktor-faktor yang terdapat didaerah asal dan tujuan dibedakan menjadi tiga,
yaitu: faktor-faktor daya dorong (push
factor), faktor-faktor daya tarik (pull factor), dan faktor-faktor yang
bersifat netral (neutral).
Faktor-faktor yang bersifat netral pada dasarnya tidak berpengaruh
terhadap pengembilan keputusan untuk bermigrasi. Todaro (2004) menjelaskan
bahwa pertumbuhan migrasi dari desa ke kota yang terus menerus meningkat
merupakan penyebab utama semakin banyaknya pemukiman-pemukiman kumuh di
perkotaan, namun sebagian lagi disebabkan lagi oleh pemerintah di masing-masing
negar paling miskin. Sadar atau tidak mereka juga turut menciptakan pemukiman
kumuh tersebut. Maka dari itu, kebanyakan warga desa memilih untuk melakukan
migrasi sirkuler. Dalam makalah ini akan dibahas lebih dalam faktor dan dampak
migrasi sirkuler di desa dan pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi secara
nasional. Sosiologi mempelajari hubungan-hubungan kelompok orang (Sajogyo
1971:3), ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan di dalam dan antara kelompok
masyarakat, sedangkan “kelompok masyarakat” digambarkan sebagai sejumlah orang
yang saling “berhubungan” menurut corak-corak tertentu (Sajogyo 1971:2).
Sementara sosiologi pedesaan yang dinyatakan oleh Sajogyo sebagai lapangan khas
dari sosiologi umum yang berspesialisasi pada peneropongan masyarakat pedesaan.
Sosiologi pedesaan mempelajari kehidupan sosial organisasi/kelompok
beserta perubahan-perubahannya sebagai konsekuensi dari adanya proses sosial.
Objek studi sosiologi pedesaan adalah seluruh penduduk di pedesaan yang terus
menerus atau sementara tinggal di desa. Desa merupakan tempat sekelompok kecil
orang atau masyarakat yang mendiami suatau tempat. Desa mempunyai suatu sistem
tersendiri baik dari segi pemerintahan maupun dari sistem kebudayaan. Desa
sebagai suatu sistem adalah suatu kesatuan yang utuh, terbentuk secara
berkesinambungan dalam waktu yang lama.
Di dalam suatu desa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan
terjadinya diferensiasi. Diferensiasi (perbedaan) sosial mengasumsikan bahwa
dalam masyarakat terdapat sejumlah kedudukan dan peranan yang diberi penilaian
berbeda-beda. Konsep diferensiasi sosial lebih menekankan pada adanya sejumlah
kedudukan dan peranan yang berbeda dalam masyarakat yang memberikan kemampuan
mengakses sumberdaya (kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dll) secara berbeda-beda.
Perbedaan mengakses sumberdaya inilah yang akan membentuk sistem stratifikasi
sosial yang dapat dibedakan menjadi lapisan atas dan lapisan bawah. Oleh karena itu kita perlu mengetahui
bagaimana ekonomi pedesaan itu.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat
dirumuskan beberapa masalah, yaitu :
a.
Apa pengertian masyarakat desa?
b.
Bagaimana ciri-ciri masyarakat desa?
c.
Apa perbedaan masyarakat pedesaan dengan perkotaan?
d.
Sepenting apakah ekonomi pedesaan ditingkatkan?
e.
Mengapa migrasi sirkuler menjadi faktor penting bagi
peningkatan ekonomi desa?
f.
Apa dampak yang dihasilkan dari migrasi sirkuler terhadap
peningkatan ekonomi desa?
g.
Sejauh mana peningkatan ekonomi desa bisa meningkatkan
pembangunan ekonomi Indonesia?
h.
Bagaimana masalah pembangunan pedesaan?
i.
Bagaimana pemberdayaan masyarakat desa?
j.
Bagaimana pembangunan ekonomi pedesaan?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka kami dapat
mengemukakan beberapa tujuan makalah ini, yaitu :
a
Untuk mengetahui apa pengertian masyarakat desa.
b
Untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri masyarakat desa.
c
Untuk mengetahui apa perbedaan masyarakat pedesaan dengan
perkotaan.
d
Untuk mengetahui sepenting apakah ekonomi pedesaan
ditingkatkan.
e
Untuk mengetahui mengapa
migrasi sirkuler menjadi faktor penting bagi peningkatan ekonomi desa.
f
Untuk mengetahui apa dampak yang dihasilkan dari migrasi
sirkuler terhadap peningkatan ekonomi desa.
g
Untuk mengetahui sejauh mana
peningkatan ekonomi desa bisa meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia.
h
Untuk mengetahui bagaimana masalah pembangunan pedesaan.
i
Untuk mengetahui bagaimana pemberdayaan masyarakat desa.
j
Untuk mengetahui bagaimana pembangunan ekonomi pedesaan.
1.4 Manfaat
1.
Sebagai media belajar dan tambahan wawasan bagi penulis.
2.
Memberikan
informasi bagi pembaca.
3.
Dapat memahami atau menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh.
1.5 Metode Pencarian Materi
Penulis dalam mencari materi menggunakan metode kajian pustaka yaitu
mencari di buku dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Masyarakat Desa
Dalam Bahasa Inggris
disebut Society,
asal katanya Socius yang
berarti“kawan”.
Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu
Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada
bentuk-bentuk akhiran hidup, yang bukandisebabkan
oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam
lingkungan sosial yang merupakan satu-kesatuan.
Yang dimaksud dengan desa menurut
Sutardjo Kartodikusuma adalah suatukesatuan hukum dimana bertempat tinggal
suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Menurut Bintaro, desa merupakan
perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang
terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalamhubungan dan pengaruhnya secara
timbal balik dengan daerah lain.Sedangkan
menurut Paul H. Landis desa adalah penduduknya kurang dari2.500 jiwa. Dengan ciri-ciri sebagai
berikut :1) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.2) Ada pertalian perasaan yang sama
tentang kesukaan terhadap kebiasaan3) Cara
berusaha (ekonomi)
adalah agraris yang paling umum yang sangatdipengaruhi
alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkanpekerjaan yang bukan
agraris adalah bersifat sambilan.Dalam
kamus sosiologi kata tradisional
dari bahasa Inggris,
Traditionartinya
Adat istiadat dan kepercayaan
yang turun menurun dipelihara,
dan adabeberapa
pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendirimengandung
kompleksitas yang saling berkaitan satu
sama lain diantara
unsur-unsurnya,
yang sebenarnya
desa masih dianggap sebagai
standar dan pemeliharasistem
kehidupan bermasyarakat dan
kebudayaan asli seperti
tolong menolong,keguyuban,
persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat- istiadat, kesenian, kehidupan moral, susila dan lain-lain yang mempunyai
ciri yangjelas.Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagaikesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul danadat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam system pemerintahan NegaraKesatuan Republik
Indonesia.Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagikeberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil daribangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia.
Selama ini terbukti keragamantersebut telah menjadi kekuatan penyokong
bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengandemikian
penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkandari
pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.Memang hampir semua kebijakan
pemerintah yang berkenaan denganpembangunan desa mengedepankan sederet tujuan
mulia, seperti mengentaskan rakyatmiskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidupmasyarakat,
memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat danmembuat
pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut
mandek diatas kertas.Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan
obyek pembangunan,yang
keuntungannya
direnggut oleh
actor yang melaksanakan pembangunan di desatersebut: bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan
pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan
pembangunan. Karena itu, Program PengembanganKecamatan (PPK) yang ada
sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatanpada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK,orientasi
penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, diSumenep
(Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun)
dalammengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK
seringdipelesetkan menjadi proyek para klebun.
Menyimak realitas
diatas, memang benar
bahwa yang selama ini terjadisesungguhnya
adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, daridan oleh desa.
Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation)bernama
Indonesia.Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkansampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika
menerapkan konsep:”Membangun desa,menumbuhkan
kota”. Konsep ini, meski
sudah sering dilontarkan
oleh banyak kalangan,tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah
tantanganyang harus segera dijawab.
Masyarakat pedesaan selalu memiliki ciri-ciri atau dalam
hidupbermasyarakat,
yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasidan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat
digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa. Namun
demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era
informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebutsudah “tidak berlaku”. Masyarakat pedesaan juga
ditandai dengan pemilikan ikatanperasaan batin yang kuat sesama warga desa,
yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yagn amat kuat yang hakekatnya,
bahwa seseorang merasa merupakanbagian yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta
mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demimasyarakatnya
atau anggota-anggota masyarakat,
karena beranggapan sama-sama sebagai
masyarakat yang
saling mencintai saling menghormati,
mempunyai hak tanggung jawab yang sama
terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalammasyarakat. Adapun yang
menjadi ciri masyarakat desa antara lain :1) Didalam masyarakat pedesaan di antara
warganya mempunyai hubungan yanglebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan
masyarakat pedesaanlainnya di luar batas
wilayahnya. 2) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. 3) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. 4)
Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adat
istiadat, dan sebagainya. Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai
macam gejala, khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya
hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan
sosial.
Masyarakat
desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat
istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan
mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan
manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat
secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
a
Daerah
dan letak dalam arti tanah yang meliputi luas, lokasi.
b
Penduduknya
dalam arti jumlah, struktur umur, mata pencaharian.
c Tata
kehidupan dalam arti corak, pola tata pergaulan dan ikatan warga desa.
2.2 Ciri-ciri
Masyarakat Desa
Adapun ciri yang menonjol pada masyarakat desa antara
lain pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam (bercocok tanam) anggotanya
saling mengenal, sifat gotong royong erat penduduknya sedikit perbedaan penghayatan
dalam kehidupan religi lebih kuat.
a Lingkungan
dan Orientasi Terhadap Alam
Desa berhubungan erat dengan alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis
di daerah desa petani, realitas alam ini sangat vital menunjang kehidupannya.
Kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam seperti dalam pola berfikir dan
falsafah hidupnya menentukan.
b Dalam
Segi Pekerjaan/Mata Pencaharian
Umumnya mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani, sedangkan mata
pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder sebagian besar penduduknya
bertani.
c Ukuran
Komunitas
Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dan daerah pedesaan mempunyai
penduduk yang rendah kilo meter perseginya.
d Kepadatan
Penduduknya
Kepadatan penduduknya lebih rendah, biasanya kelompok perumahan yang
dikelilingi oleh tanah pertanian udaranya yang segar, bentuk interaksi sosial
dalam kelompok sosial menyebabkan orang tidak terisolasi.
e Diferensiasi
Sosial
Pada
masyarakat desa yang homogenitas, derajat diferensiasi atau perbedaan sosial
relatif lebih rendah.
f Pelapisan
Sosial
Masyarakat desa kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah tidak
terlalu besar.
g Pengawasan
Sosial
Masyarakat desa pengawasan sosial pribadi dan ramah tamah disamping itu
kesadaran untuk mentaati norma yang berlaku sebagai alat pengawasan sosial.
h
Pola Kepemimpinan
Menentukan kepemimpinan di
daerah cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan
oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui. Misalnya
karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.
2.3 Perebedaan Masyarakat
Pedesaan Dengan Perkotaan
1. Lingkungan umum dan orientasi terhadap alam
Masyarakat pedesaan berhubungan
kuat dengan alam, karena lokasigeografisnya
di daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal
di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
2. Pekerjaan atau mata pencaharian
Pada umumnya
mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yg bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerahpertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.3) Ukuran komunitasKomunitas
perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
3. Kepadatan penduduk, Penduduk desa kepadatannya
lebih rendah biladibandingkan dgn kepadatan
penduduk kota, kepadatan penduduk suatukomunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itusendiri.
4. Homogenitas dan heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-cirisosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan,
adat-istiadat, dan perilakunampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan
denganmasyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya
heterogen,terdiri dari orang-orang dengan macam-macam perilaku, dan jugabahasa,
penduduk di kota lebih heterogen.
5. Diferensiasi sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota
berindikasipentingnya derajat yg tinggi di dalam diferensiasi sosial.
6. Pelapisan sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering
nampak dalam bentuk “piramida terbalik”
yaitu kelas-kelas yg tinggi berada padaposisi
atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelasekstrem
dari masyarakat. Ada beberapa perbedaan pelapisan sosial yangtak resmi antara
masyarakat desa dan kota:
a pada masyarakat kota aspek kehidupannya lebih banyak system
pelapisannya dibandingkan dengandi desa.
b pada masyarakat desa kesenjangan antara kelas eksterm dalam piramida
sosial tidak terlalu besar dan sebaliknya.
c masyarakat perdesaan cenderung pada kelas tengah.
d ketentuan kasta dan contoh perilaku.
7. Mobilitas sosial, Mobilitas berkaitan dengan perpindahan
yang disebabkan olehpendidikan kota yang heterogen, terkonsentrasinya
kelembagaan-kelembagaan, banyak penduduk yg pindah kamar atau rumah, waktu
ygtersedia bagi penduduk kota untuk bepergian per satuan, bepergian setiaphari
di dalam atau di luar, waktu luang di kota lebih sedikit dibandingkandi daerah pedesaan, interaksi social masyarakat
pedesaan lebih sedikitjumlahnya, dalam kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupunsecara
kualitatif.
8.
Pengawasan
socialDi kota pengawasan lebih bersifat
formal, pribadi dan peraturan lebihmenyangkut masalah pelanggaran.
9.
Pola
kepemimpinan, Menentukan kepemimpinan di daerah perdesaan cenderung
banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu dibandingkan dengan
kota.
10. Standar kehidupanDi kota tersedia dan ada kesanggupan dalam
menyediakan kebutuhantersebut, di desa tidak demikian.
11. Kesetiakawanan
sosialKesetiakawanan sosial pada masyarakat perdesaan dan perkotaan
banyak ditentukan oleh masingmasing faktor yang berbeda
12.
Nilai dan sistem nilaiNilai dan system nilai di desa
dengan di kota berbeda dan dapat diamatidalam kebiasaan, cara dan norma yang
berlaku.
2.4 Pentingnya Peningkatan Perekonmian
Desa
Masyarakat desa sebagai dasar awal dalam pembangunan
di Indonesia, sampai saat ini masih sering terlupakan. Masyarakat desa pada
umumnya sebagian besar dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Pemenuhan akan
kebutuhan mereka pun rasanya masih sulit untuk terpenuhi. Sehingga tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa pembangunan ekonomi suatu negara tidak lepas
dari pembangunan bagian kecilnya sekalipun, yaitu desa. Kemajuan perekonomian
desa-desa dan semua wilayah atau dengan kata lain pemerataan kemajuan ekonomi
merupakan target penting dalam pembangunan ekonomi negara.
Kondisi desa saat ini pun masih cukup memprihatinkan,
sekitar 45% desa di Indonesia masih masuk dalam kategori tertinggal (yusuf,
2006). Oleh karena itu, kemajuan perekonomian desa memiliki andil yang cukup
besar, dan salah satu solusi yang kami tawarkan untuk memajukan perekonomian
desa untuk mencapai keseimbangan kesempatan ekonomi antara desa dan kota adalah
dengan migrasi sirkuler. Karena peningkatan ekonomi desa yang dilakukan dengan
kesadaran penuh tiap individu yang berada di dalamnya akan membangun sistem
perekonomian yang lebih maju dan kuat, dimana ini bisa terbentuk dengan adanya
migrasi sirkuler yang terencana.
2.5 Pentingnya
Migrasi Sirkuler sebagai Faktor Peningkatan Ekonomi Desa
Menurut Kartomo (Wirosuhadjo, 1981:116) definisi migrasi adalah
perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ke tempat
lain melampaui batas politik/ Negara ataupun batas administratif/ batas bagian
Negara. Selanjutnya Kartomo mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bermaksud
menetap di daerah yang didatangi dan telah tinggal di daerah itu kurang dari
tiga bulan, maka orang tersebut dapat digolongkan dalam migrasi sirkuler.
Sementara Hadi Supadmo(1991:2) mendefinisikan mobilitas sirkuler adalah
penduduk yang bekerja di luar wilayah desanya dan pulang kembali setelah
minimal dua hari dan maximal enam bulan baik secara teratur maupun tidak. Batas waktu minimal dua hari
untuk membedakan dengan mobilitas ulang-alik dan batas waktu maximal enam bulan
untuk membedakan dengan migran menetap. Mantra (1988), menyatakan bahwa batasan
tempat dan waktu tersebut lebih banyak ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Mobilitas atau perpindahan
penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan.
Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam
struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat
untuk hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas
penduduk terhadap pembangunan yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh
kebaikannya. Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobilitas
penduduk. Tetapi juga tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang
berarti tanpa adanya kegiatan pembangunan itu sendiri.
Lee (1966) dalam teorinya
“ Dorong – Tarik” (Push-Pull
Theory) berpendapat bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh
faktor pendorong di desa dan penarik di kota. Teori tersebut menerangkan
tentang proses pengambilan keputusan untuk bermigrasi yang dipengaruhi oleh
empat faktor, yaitu: faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor
yang terdapat di daerah tujuan, faktor-faktor rintangan, dan faktor-faktor
pribadi. Faktor-faktor yang terdapat didaerah asal dan tujuan dibedakan menjadi
tiga, yaitu: faktor-faktor daya dorong (push
factor), faktor-faktor daya tarik (pull factor), dan faktor-faktor yang
bersifat netral (neutral).
Faktor-faktor yang bersifat netral pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap
pengembilan keputusan untuk bermigrasi.
Desa sangat erat
hubungannya dengan kemiskinan, karena perekonomian di desa dipandang sangat
tertinggal dibandingkan dengan di kota. Tidak hanya itu, sumber daya yang ada
di desa baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dianggap tidak
memiliki prospek yang bagus untuk kemajuan desa. Sektor pertanian
biasanya merupakan mata pencahariaan utama di desa, namun pada kenyataannya
kini sektor pertanian sudah tidak dapat menyejahterakan warga desa lagi.
Mantra (1981), juga
menyebutkan adanya kekuatan yang mendorong penduduk untuk pergi ke daerah lain
(kekuatan sentrifugal), yaitu ; ketidakpuasan pendapatan di bidang pertanian,
kurangnya kesempatan kerja dan keterbatasan fasilitas. Rusli (1982),
menambahkan bahwa tingkat upah yang rendah dari pekerjaan-pekerjaan pertanian
mendorong penduduk desa untuk cenderung mencari pekerjaan-pekerjaan non
pertanian seperti pekerjaan di bidang industri. Intinya adalah ketidakpuasaan
terhadap upah atau pendapatan yang diperoleh di tempat asal mendorong seseorang
pergi ke kota dan berharap akan mendapatkan upah yang lebih baik.
Setelah sebagian besar
warga desa melakukan migrasi ke kota, ternyata mereka tidak tahan berlama-lama
hidup di kota. Hal ini bisa jadi karena desa memiliki penahan yang kuat sebagai
tempat tinggal, hal tersebut disebabkan adanya ikatan keluarga, biaya hidup
murah, dan dapat bercocok tanam. Sementara Mantra (1981) dalam
penelitiannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, meyebutkan adanya kekuatan yang
menahan penduduk untuk tetap tinggal di desa (kekuatan sentripetal) yaitu; 1.
Ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang erat, yang tercermin dari semboyan “Mangan ora mangan waton kumpul”,
2. Sistem gotong royong yang kuat, yakni tiap warga desa merasa mempunyai tugas
moral untuk saling membantu warga desa yang lain, 3. Pemilikan tanah pertanian
memberikan status yang tinggi, karena itu enggan meninggalkan desa untuk
menetap di daerah lain, 4. Ikatan batin dengan leluhur mereka, dilakukan dengan
mengunjungi makam leluhur setiap bulan ruwah
(sya’ban) dan lebaran (syawal), dan 5. Ongkos transportasi yang
tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan mereka. Lebih lanjut Mantra (1981)
menyebutkan bahwa untuk mengatasi kedua kekuatan ini maka penduduk desa memilih
jalan tengah yaitu dengan migrasi sirkuler.
Dari berbagai macam
penjelasan tentang keterkaitan antara migrasi sirkuler dan peningkatan ekonomi
di desa, dapat dikatakan bahwa migrasi sirkuler menjadi pilihan yang efektif
bagi peningkatan ekonomi desa. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan
pendapatan dari para pelaku migrasi sirkuler yang setiap bulannya selalu
dikirimkan kepada keluarga mereka di desa. Dari uang kiriman para imigran
tersebut terlihat adanya peningkatan GDP desa dan peningkatan taraf hidup
masyarakat desa. Sebagian besar uang kiriman tersebut digunakan untuk
memperbaiki kebutuhan dasar mereka, seperti ; pangan, sandang, dan papan.
Selebihnya uang tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa.
2.6 Dampak
Migrasi Sirkuler terhadap Peningkatan Ekonomi Desa
Migrasi sirkuler muncul
untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat desa. Adanya migrasi dapat
menyebabkan adanya transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi
dapat didefinisikan sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan
sosial-ekonomi (sebagai akibat pembangunan). Desa dirasa perlu memiliki sebuah
lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengelola keuangan para migran guna
membantu peningkatan pembangunan desa agar proses pembangunan terkontrol dengan
baik.
Pada dasarnya masyarakat
pedesaan (khususnya di Jawa) sebenarnya merasa enggan untuk pergi untuk
meninggalkan desanya. Akan tetapi karena mekanisme bekerjanya faktor-faktor di
luar kemauan dan kemampuan merekalah maka sebagian dari mereka terpaksa pergi
meninggalkan desanya. Oleh karena itu, kepergian mereka dari desa, sebagian
besar hanya bersifat sementara.
Perpindahan atau migrasi
yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh
individu sendiri secara sukarela (voluntary
planned migraton).
Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan berbagai
kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan
untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak ada
unsur paksaan untuk melakukan migrasi. Tetapi semenjak dasawarsa 1970-an banyak
dijumpai pula mobilitas penduduk yang bersifat paksaan atau “dukalara” atau
terdesak (impelled)
(Peterson,W:1969). Mobilitas penduduk akibat kerusuhan politik atau bencana
alam seperti yang terjadi di Sakel ataupun Horn, Afrika merupakan salah satu
contoh. Adanya berbagai tekanan dari segi politik, sosial, ataupun budaya
menyababkan individu tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melakukan
perhitungan manfaat ataupun kerugian dari aktivitas migrasi tersebut. Mereka
berpindah ke daerah baru dalam kategori sebagai pengungsi (refugees). Para pengungsi
ini memperoleh perlakuan yang berbeda di daerah tujuan dengan migran yang
berpindah semata-mata karena motif ekonomi (Beyer, Gunther;1981; Adelman:
1988).
Terdapat dampak positif
dan negatif yang diakibatkan oleh migrasi. Dampak positifnya adalah
peningkatan penghasilan para imigran yang berdampak pada peningkatan ;
- Kebutuhan dasar,
Sekarang mereka dapat
membeli bahan-bahan makanan yang bergizi dalam jumlah yang lebih banyak, mereka
juga dapat memperbaiki rumah-rumah mereka yang biasanya menggunakan bilik
sekarang sudah menggunakan tembok, baju yang mereka gunakan lebih modern
daripada dulu, seperti penggunaan kebaya yang sudah ditinggalkan dan kini
mereka mulai menggunakan kaos dan celana jeans, sudah mulai dibangun beberapa
lembaga kesehatan seperti puskesmas dan posyandu di desa guna meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan juga untuk
memperbaiki gizi masyarakat. Kesehatan dan pendidikan adalah investasi yang
dibuat dalam individu yang sama.
Modal kesehatan yang lebih
baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan karena: 1.
Kesehatan adalah faktor penting atas kehadiran di sekolah; 2. Anak-anak yang
sehat lebih berprestasi di sekolah/ dapat belajar secara lebih efisien; 3.
Kematian yang tragis pada anak-anak usia sekolah juga meningkatkan biaya
pendidikan per tenaga kerja, sementara harapan hidup yang lebih lama akan
meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan; 4. Individu yang
sehat lebih mampu menggunakan pendidikan secara produktif di setiap waktu dalam
kehidupannya.
Modal pendidikan yang
lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi kesehatan karena: 1.
Banyak program kesehatan bergantung pada berbagai keterampilan yang dipelajari
di sekolah (termasuk melek huruf dan angka); 2. Sekolah mengajarkan pokok-pokok
kesehatan pribadi dan sanitasi; 3. Dibutuhkan pendidikan untuk membentuk dan
melatih petugas pelayanan kesehatan.
Setelah adanya peningkatan
pendapatan para imigran, perbaikan efisiensi produktif dari investasi dalam
pendidikan dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kesehatan yang
meningkatkan harapan hidup.
2. Infrastruktur
Lembaga pengelolaan penghasilan imigran dapat membantu untuk memperbaiki
infrastruktur di desa. Pendanaan pembangunan tersebut diperoleh dari iuran yang
dikumpulkan secara kolektif oleh lembaga tersebut untuk memperbaiki
beberapa sarana dan prasarana di desa, seperti; jalanan, masjid, gedung
sekolah, kantor kepala desa, dan saluran irigasi.
Seperti kasus di Desa Ciasihan, kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor.
Kondisi infrastuktur yang ada di desa pada awalnya sangat buruk, akan tetapi
seiring dengan berkembangnya informasi dan semakin luasnya pandangan masyarakat
tentang pentingnya sarana dan prasarana. Maka dengan uang yang mereka kumpulkan
di Lembaga Keuangan Desa, mereka dapat memperbaiki sedikit demi sedikit
prasarana yang ada, seperti, pembuatan WC Umum dan adanya penyaluran air bersih
dari gunung melalui selang-selang yang dipasang hingga tempat-tempat
penampungan air yang tersedia.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh migrasi sirkuler terhadap
pembangunan ekonomi di desa adalah memburuknya keseimbangan struktural antara
desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama
di sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah
pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan
penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan
jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Lonjakan yang setinggi itu
belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, dan semakin lama semakin sulit
diakomodasikan, apalagi proporsi migran berusia muda yang memiliki pendidikan
dan keterampilan memadai semakin besar. Kehadiran para pendatang tersebut
cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara
persediaan tenaga kerja yang sangat bernilai di pedesaan semakin tipis. Kedua, di sisi permintaan,
penciptaan kesempatan kerja di daerah perlotaan lebih sulit dan jauh lebih
mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, karena kebanyakan jenis
pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input-input
komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya. Di samping itu, tekanan
kenaikan upah di perkotaan dan tuntutan karyawan untuk mendapatkan aneka
tunjangan kesejahteraan, serta tidak tersedianya aneka teknologi produksi
“tepat guna” yang lebih padat karya juga membuat para produsen enggan menambah
karyawan karena sekarang peningkatan output sektor modern tidak harus dicapai
melalui peningkatan produktivitas atau jumlah pekerja.
Di samping itu juga adanya penurunan jumlah sumber daya manusia untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sosial atau kegiatan gotong
royong guna membangun desa. Bila hal ini berlangsung terus-menerus
dikhawatirkan bahwa kehidupan sosial dan gotong royong yang ada di desa saat
ini makin lama akan menjadi sirna.
Hal-hal yang diuraikan di atas terutama tampak dominan untuk
daerah-daerah yang jarak antara kota dan desa dapat dikatakan sedang atau jauh
(jauh dan sedang dalam arti waktu dan/ atau kemudahan fasilitas transportasi)
lain halnya dengan daerah-daerah pedesaan yang dalam arti waktu dan kemudahan
fasilitas transportasi tersebut relatif dekat dengan kota.
Menurut Todaro (2004), ada beberapa dampak yang dihasilkan dari migrasi
sirkuler yaitu penciptaan keseimbangan ekonomi antara kota dan desa.
Keseimbangan kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan
suatu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi menanggulangi
masalah-masalah pengangguran di desa-desa maupun kota-kota di berbagai
Negara-negara berkembang serta untuk mengurangi migrasi desa ke kota; Perluasan
industri kecil yang padat karya. Komposisi atau bauran output sangat
mempengaruhi jangkauan (dan dalam banyak hal, termasuk juga lokasi) kesempatan
kerja karena beberapa produk (terutama barang-barang konsumsi pokok)
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja bagi setiap unit output dan setiap unit
modal daripada produk atau barang-barang lainnya; Pengurangan laju pertumbuhan
penduduk melalui upaya pengentasan kemiskinan absolute dan perbaikan distribusi
pendapatan, terutama bagi kaum wanita yang disertai dengan menggalakkan
program-program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan di
daerah-daerah pedesaan.
2.7 Peningkatan
Ekonomi Desa dalam Peningkatkan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah desa di Indonesia
menacapai lebih dari 70 ribu, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa
tertinggal. Sehingga untuk peningkatan pembangunan ekonomi Indonesia, tentunya
tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi di desa-desa yang ada di negara ini.
Desa atau perdesaan merupakan bagian penting dari perencanaan da
pembangunan. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di perdesaan,
namun ironisnya hal ini berbanding lurus dengan kondisi kemiskinannya, dimana
kantong-kantong kemiskinan juga berada di perdesaan. Masyarakat perdesaan yang
sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, sangat sulit untuk keluar
dari jerat kemiskinan.
Ketahanan suatu bangsa sebaiknya dibangun dari daerah-daerah, yaitu
desa. Sehingga jika sebelumnya telah diketahui dampak migrasi sirkuler terhadap
pertumbuhan ekonomi desa, maka dengan adanya peningkatan ekonomi desa inilah
akan membuat semaikn kuatnya perekonomian dan pembangunan nasional.
Dengan adanya migrasi yang terkondisikan dengan baik, maka kemudian akan
membuat suatu keseimbangan perekonomian antara desa dan kota, dimana hal ini
sangat berpengaruh penting dalam pembangunan nasional. Kesempatan ekonomi yang
setara antara desa dan kota akan menimbulkan suatu kesempatan kerja yang setara
antara desa dan kota sehingga kemudian tingkat migrasi bisa ditekan kembali,
sehingga keseimbangan perekonomian desa dan kota bisa terus terjaga. Sehingga
adanya peningkatan ekonomi desa melalui migrasi ini bisa dijadikan suatu solusi
bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.
2.8 Masalah
Pembangunan Perdesaan
Pada
rumusan dokumen pembangunan nasional RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah). Pembangunan perdesaan dimasukan dalam Bab 25. Kawasan perdesaan
menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal yang menghambat
perwujudan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan
nyaman. Adapun permasalahan pembangunan perdesaan yang dihadapi terdapat 11
permasalahan dasar yaitu :
- Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas. Kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya sangat terbatas. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil.
- Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial. Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian (primer) dengan sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta keterkaitan pembangunan antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan.
- Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah. Dalam era otonomi daerah timbul kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi (pungutan) yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, di antaranya pungutan yang dikenakan dalam aliran perdagangan komoditas pertanian antar daerah yang akan menurunkan daya saing komoditas pertanian.
- Tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan. Petani dan pelaku usaha di kawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan meningkatkan risiko kerugian usaha seperti gagal panen karena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi demikian, pelaku industri kecil yang bergerak di bidang pengolahan produk-produk pertanian otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh bahan baku produksi. Risiko ini masih ditambah lagi dengan fluktuasi harga dan struktur pasar yang merugikan.
- Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan. Ini terlihat dari besarnya jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha) yang mencapai 13,7 juta rumah tangga (RT) atau 56,2 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan pada tahun 2003. Hal ini ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan kerjasama.
- Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan. Ini tercermin dari total area kerusakan jaringan irigasi yang mencapai sekitar 30 persen, rasio elektrifikasi kawasan perdesaan yang baru mencapai 78 persen (tahun 2003), jumlah desa yang tersambung prasarana telematika baru mencapai 36 persen (tahun 2003), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses terhadap pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 6,2 persen (tahun 2002), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses ke prasarana air limbah baru 52,2 persen (tahun 2002), meningkatnya fasilitas pendidikan yang rusak, terbatasnya pelayanan kesehatan, dan fasilitas pasar yang masih terbatas di perdesaan khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
- Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled). Ini ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 5,84 tahun atau belum lulus SD/MI; sementara itu rata-rata lama sekolah penduduk perkotaan sudah mencapai 8,73 tahun. Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan SMP/MTs ke atas hanya 23,8 persen, jauh lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang jumlahnya mencapai 52,9 persen. Kemampuan keaksaraan penduduk perdesaan juga masih rendah yang ditunjukkan oleh tingginya angka buta aksara yang masih sebesar 13,8 persen atau lebih dari dua kali lipat penduduk perkotaan yang angkanya sudah mencapai 5,49 persen (Susenas 2003).
- Meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain. Di samping terjadinya peningkatan luas lahan kritis akibat erosi dan pencemaran tanah dan air, isu paling kritis terkait dengan produktivitas sektor pertanian adalah penyusutan lahan sawah. Pada kurun waktu 1992-2000 luas lahan sawah telah berkurang dari 8,2 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar. Kondisi ini selain didorong oleh timpangnya nilai land rent pertanian dibanding untuk permukiman dan industri, juga diakibatkan lemahnya penegakan peraturan yang terkait dengan RTRW di tingkat lokal.
- Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sumber daya alam dan lingkungan hidup sebenarnya merupakan aset yang sangat berharga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun demikian, potensi ini akan berkurang bila praktekpraktek pengelolaan yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Contoh dari hal ini dapat dilihat pada data Statistik Kehutanan tahun 2002, di mana perkiraan luas lahan kritis sampai dengan Desember 2000 adalah 23,24 juta hektar, dengan 35 persen berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen di luar kawasan hutan. Untuk hutan sendiri telah terjadi peningkatan laju degradasi dari 1,6 juta hektar/tahun pada kurun 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar/tahun pada kurun waktu 1997-2001.
- Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. Ini tercermin dari kemampuan lembaga dan organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Di samping itu juga terdapat permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak adil dan tidak setara.
- Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan secara terpadu akan melibatkan banyak aktor meliputi elemen pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta. Di pihak pemerintah sendiri, koordinasi semakin diperlukan tidak hanya untuk menjamin keterpaduan antar sektor tetapi juga karena telah didesentralisasikannya sebagian besar kewenangan kepada pemerintah daerah. Lemahnya koordinasi mengakibatkan tidak efisiennya pemanfaatan sumber daya pembangunan yang terbatas jumlahnya, baik karena tumpang tindihnya kegiatan maupun karena tidak terjalinnya sinergi antar kegiatan.
2.9 Pemberdayaan Masyarakat Desa
2.9.1 Tinjauan Teoritis Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan
yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai
abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan
tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Hakikat
dari konseptualisasi empowerment berpusat manusia dan kemanusiaan,
dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif,
struktural, dan substansial. Dengan demikian konsep pemberdayaan sebagai
upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah,
negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang
adil dan beradab. Dalam proses pemberdayaan, masyarakat berupaya meningkatkan
dan mengembangkan kemampuan unit-unit sosial, baik itu merupakan satuan
komunitas maupun satuan sistem sosial dalam bentuk perangkat pranata sosial
yang ada dikehidupan masyarakat (Jatiman, S, 2000). Oleh sebab itu di sini
pemberdayaan dimaknai sebagai upaya menumbuhkan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining power), sehingga
memiliki akses dan kemampuan untuk mengambil keuntungan timbal balik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Keempat bidang ini saling mengkait.
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat juga berarti memberikan wewenang dan
pelayanan sehingga kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam empat bidang
tersebut dapat berkembang.
Jika dilihat dari proses
operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan antara
lain : Pertama, Kecenderungan primer, yaitu kecenderungan
proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau
kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih
berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset
material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi; dan Kedua
Kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses
memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya
melalui proses dialog. Dua kencenderungan tersebut memberikan (pada titik
ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan
primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.
Pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat menggunakan asumsi yang mencakup lima hal (Agusta,
2001). Pertama, karakteristik penting pemberdayaan (empowerment),
yang membedakannya dari pendekatan pembangunan berciri top down, ialah
terdapat asumsi bahwa suatu tindakan individu dilakukannya untuk memberdayakan
dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur atau mencari peluang
pemberdayaan dari struktur yang ada. Tinjauan aktivitas dipusatkan pada
individu-individu yang berhubungan dengan program pembangunan (stake holder
secara individual). Kekuatan (power) yang tinggi pada individu bisa
meruntuhkan struktur masyarakat yang lama dan menggantinya dengan struktur
baru.
Kedua,
berkaitan dengan tindakan individu yang perlu bersifat otonom agar mampu
menghasilkan perubahan sosial, asumsi lain yang muncul dalam pendekatan
pemberdayaan ialah, bahwa partisipasi merupakan tindakan sukarela. Tindakan
pemberdayaan atau pembebasan diri baru berarti ketika digerakkan oleh olahan
persepsi, pemikiran, dan sikap individu itu sendiri. Internalisasi sikap ini
akan menjadikan tindakannya berarti bagi dirinya, serta sulit untuk terhapus
kembali dari dalam dirinya. Tindakan partisipasi yang tumbuh dari dalam dirinya
sendiri minimal menandakan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan,
serta bersedia menanggung resiko.
Ketiga, terdapat asumsi bahwa sebagai tindakan
sukarela, partisipasi mengarah kepada suatu tindakan rasional. Suatu tindakan
partisipatif sesungguhnya menunjukkan resultante pengambilan keputusan dari
keterbatasan pilihan yang ada. Tindakan rasional di sini diartikan sebagai pilihan atas sarana dalam hubungan dengan tujuan. Sarana
adalah apa saja yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu rasional
tidak mengacu kepada sarana atau tujuan itu sendiri, melainkan pada perilaku
mengaitkan sarana dengan tujuan (Polanyi, et. al., 1957). Terhadap
tujuan yang dikejar, jauh lebih rasional jika kita memilih sarana yang tepat.
Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa rasionalitas dibatasi oleh konteks
tindakan individu, yaitu konteks yang menghasilkan tujuan individu tersebut.
Ketidakcukupan sarana baru dapat menimbulkan keharusan memilih bila, pertama,
kegunaan sarana tersebut lebih dari satu; kedua, tujuan dijadikan
bertingkat-tingkat, yaitu setidaknya dua tujuan tersusun dalam urutan
preferensi. Mudah dilihat akibat dari pemikiran ini, bahwa pilihan atas sarana
dapat ada tanpa adanya ketidakcukupan, dan ketidakcukupan sarana dapat ada
tanpa menimbulkan keharusan memilih. Keadaan terakhir tidak berujung pada
tindakan rasional.
Keempat,
terdapat asumsi yang berkaitan dengan program dan proyek, yaitu bahwa program
atau proyek adalah sumberdaya yang langka. Perubahan suatu masyarakat, termasuk
di antaranya pemberdayaan masyarakat, memiliki dimensi yang luas dan saling
berkaitan, serta menempuh waktu yang lama. Mengingat kompleksitas tersebut,
suatu program secara sendirian sulit untuk membangun argumen mengenai
kemampuannya membangun masyarakat. Walaupun demikian, program atau proyek
menjadi fenomena penting mengingat frekuensinya yang tinggi bagi masyarakat
perdesaan (Cernea, 1988). Persoalannya bukan terutama tentang bagaimana program
atau proyek diberikan, melainkan tertuju kepada bagaimana masyarakat mampu
mengambil sebanyak mungkin manfaat dari program atau proyek.
Kelima, asumsi
bahwa kelompok dilihat sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus.
Dalam program-program pemberdayaan, tujuan pembentukan atau penggunaan kelompok
ialah untuk memberi pengontrol bagi tindakan individu, atau dalam pembahasan di
sini kelompok merupakan wujud penciptaan struktur untuk mengarahkan tindakan
individual. Akan tetapi berdasarkan kecenderungan dalam memegang pandangan
tindakan individual, maka kinerja kelompok disadari sebagai konsensus
individu-individu di dalamnya, bukannya sistem aturan yang sangat kuat mengikat
anggota. Dalam beragam hasil tinjauan kelompok pemberdayaan, terlihat bahwa
kesuksesan (maupun kegagalan) kelompok berkaitan lebih erat dengan kinerja
tindakan individu pengurusnya (Sajogyo, et. al., 1999), daripada
eksistensi struktur aturan kelompok untuk mengikat anggotanya.
2.9.2 Model Penerapan Pemberdayaan Masyarakat
Ada
beberapa model yang dapat dikembangkan untuk mencapai pemberdayaan masyarakat
antara lain adalah,
a.
Kemitraan. Model dapat diterapkan untuk mengembangkan kerja sama dengan
menekankan pada partisipasi semua stakeholder. Dalam setiap program
perlu dikembangkan kerja sama antara publik sektor (eksekutif dan legestatif),
sektor swasta dan sektor masyarakat (institusi lokal, lembaga adat, masyarakat
sipil). Dalam kemitraan ini sektor publik adalah pihak yang bertindak sebagai
penyedia fasilitas dan pendorong program. Sektor swasta sebagai penyandang
dana. Sektor masyarakat bertindak sebagai pihak pelaksana. Dalam perencanaan
seluruh komponen pendukung terlibat. Pada tahap pelaksanaan masyarakat lebih
banyak terlibat ketimbang sektor publik dan swasta. Namun sektor publik dan
swasta secara bersama-sama melakukan pemantauan dan evaluasi dan setiap saat
didiskusikan dengan sektor masyarakat.
b. Pengembangan community
enterprices. Model ini adalah upaya untuk penguatan ekonomi berbasis
masyarakat. Model ini didasari pada kemitraan yang mengandung upaya untuk
mengembangkan potensi dan kemampuan masyarakat sesuai dengan pengetahuan yang
telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sehingga merangsang tumbuhnya
kepercayaan diri, kemandirian, dan kerjasama. Model ini juga dapat membantu
pengembangan teknologi lokal sehingga dapat mengurangi ketergantungan
teknologi. Menciptakan wahana untuk latihan peningkatan keterampilan dan
menumbuhkembangkan jiwa kewiraswastaan. Memperkuat basis ekonomi pedesaan.
Mengurangi kesenjangan ekonomi. Namun, dalam mengembangkan kegiatan usaha
masyarakat (community enterprises) perlu menghindari keseragaman usaha.
Yang perlu dikembangkan adalah pembagian kerja yang saling mendukung kegiatan
utama. Hal ini dapat mengurangi resiko bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Di samping itu, upaya itu dapat menciptakan peluang kerja dan spesialisasi
pekerjaan. Hal penting
untuk pengembangan sumberdaya manusia.
c. Komunitas belajar (learning
community). Model ini dapat menciptakan proses yang cukup penting dalam
upaya peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Komunitas
didorong terus menerus untuk belajar secara aktif melalui pengalaman empirik
dan aksi sehingga dapat meningkatkan kapasitas komunitas. Komunitas aktif ini
dapat memunculkan sikap kerja yang amat diperlukan untuk meningkatkan daya
saing.
2.10 Pembangunan Ekonomi Perdesaan
2.10.1.
Tinjauan Teoritis Perdesaan
Beragam
sudut pandang jika kita mencermati pembangunan perdesaan. Hal ini dapat
dipahami, dari dua variable pemaknaan atas desa dan pembangunan saja telah
memberikan warna yang beragam. Beberapa contoh keragaman pemaknaan tersebut
disajikan sebagai berikut (disarikan dari Kebijakan Strategis Pemberdayaan
Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2001) :
Beberapa konsep yang berkaitan dengan
desa meliputi : rural, urban, suburban atau rurban, village, town dan
city. Rural dalam “Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia-lnggeris”
suntingan S. WoJowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan “seperti
desa, seperti di desa” dan urban diartikan kota, seperti di kota”. Rural
atau yang secara umum diterjemahkan menjadi
“pedesaan” bukanlah desa (village). Demikian pula urban atau yang umum
diterjemahkan menjadi perkotaan, juga bukan kota (town, city).
Sedangkan
Koentjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang
menetap tetap di suatu tempat” (1977:162). Hal ini dilakukan untuk membedakannya dari masyarakat
berburu dan meramu (suku terasing) yang senantiasa berpindah tempat sesuai
wilayah tempat tanaman masak atau hewan perburuan berada. Desa, sebaliknya,
berisi orang-orang yang bisa melakukan domestikasi ternak atau bercocok tanam
tanpa perlu berpindah tempat lagi. Dengan demikian akumulasi kekayaan semakin
nyata.
Egon E.
Bergel (1955:121) Mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman para petani (peasants).
Ini merupakan cara pandang lama yang melihat desa secara homogen sebagai tempat
berkumpulanya petani. Pada kenyataannya desa sejak lama sudah bersifat
heterogen dalam aspek ekonomi, sosial dan politik, meskipun tdaik sekompleks
perkotaan.
Paul
H. Landis (1948:12-13), mendefinisikan desa dengan cara memilah menjadi tiga macam
sesuai dengan tujuan analitiknya. Untuk tujuan analisa statistik,
desa didefinisikan sebagai suatu
lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang. Untuk tujuan analisa
sosial-psikologik, desa didefinisikan sebagai suatu
lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba
informal diantara sesama warganya. Sedangkan
untuk tujuan analisa ekonomik, desa didefinisikan sebagai suatu
lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian.
Pitirim
A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P.E. Zop. 1970)
mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik
desa dan kota, dengan mendasarkan pada : mata pencaharian, ukuran komunitas,
tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi
sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial. Dalam hal ini perdesaan
dicirikan oleh masyarakat yang didominasi mata pencaharian di bidang pertanian,
dengan ukuran komunitas kecil, tingkat kepadatan penduduk rendah, lingkungan alam
relatif masih mengarahkan pola tingkah laku penduduk, diferensiasi dan
stratifikasi sosial masoj sederhana, interaksi sosial masih kuat, dan
solidaritas sosial masih tinggi.
Inpres
nomor 5 tahun 1976 menyatakan desa adalah masyarakat hukum yang setingkat
dengan nama asli lainnya dalam pengertian teritorial-administratif langsung
dibawah kecamatan. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 membedakan desa dan
kelurahan dalam rumusan sebagai berikut :
Desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 keluar undang-undang tentang
pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur pula tentang
pemerintahan/otonomi asli desa. Seiring dengan hal tersebut maka dengan
mengingat dampak buruk dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 dan
peluang untuk mengembalikan otonomi asli desa pada Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 maka muncul kecenderungan di berbagai daerah untuk mengembalikan
keberadaan kelembagaan-kelembagaan yang asli sebelum diberlakukan Undang-Undang
tersebut, contohnya desa-desa di Irian Jaya berubah nama menjadi Kampung dan
desa-desa di Sumatera Barat berubah nama menjadi nagari. Tentu saja upaya ini
tidak mungkin berupa penerapan pranata lama, karena kondisi alam, ekonomi,
sosial dan politik sekitarnya telah semakin modern. Upaya ini lebih terwujud
sebagai penyusunan pranata dan organisasi baru yang lebih sesuai dengan
kebutuhan lokal.
Sedangkan
berkaitan dengan pembangunan sendiri kata pembangunan dapat dimaknai sebagai
perubahan yang disengaja atau direncanakan untuk mengubah
keadaan yang tidak dikehendaki kearah yang
dikehendaki (Raharjo, 1995). Pembangunan mengandung pengertian progresif atau
gerak yang maju dan menuju kesejahteraan, bukan retrogesif atau gerak yang
mundur.
Pembangunan
masyarakat desa memiliki beberapa pengertian antara lain :
a
Pembangunan masyarakat desa berarti pembangunan
masyarakat tradisional menjadi manusia modern (Horton dan Hunt, 1976. Alex
Inkeles. 1965).
b
Pembangunan masyarakat desa berarti membangun swadaya
masyarakat dan rasa percaya diri pada diri sendiri (Mukerjee dalam
Bhattacharyya, 1972).
c
Pembangunan perdesaan tidak lain dari pembangunan usaha
tani atau membangun pertanian (Mosher, 1974, Bertrand, 1958).
Meskipun
demikian pada aras paradigmatik sebenarnya
tidaknya banyak varian yang muncul. Tinjauan paradigmatik merupakan
aras yang lebih mendalam daripada tataran teori-teori pembangunan. Dengan
demikian menjadi penting untuk meninjau terlebih dahulu ragam paradigma dalam
teori-teori pembangunan yang lebih umum, yang pada akhirnya turut memberi arah
penyusunan ragam paradigma pembangunan yang lebih khusus di perdesaan. Dua
paradigma utama pembangunan, ialah modernisasi dan keterbelakangan. Sebagai
teori-teori pembangunan, keduanya melihat adanya entitas negara (wilayah,
kelompok) maju dan negara terbelakang. Akan tetapi keduanya berbeda dalam
memandang interaksi di antara kedua entitas sosial tersebut.
Untuk
memajukan masyarakat yang terbelakang, teori modernisasi memandang perlu bagi
mereka untuk menerapkan pola berpikir dan bertindak sebagaimana masyarakat
negara maju. Oleh karenanya negara terbelakang harus menyusun hubungan dengan
negara maju dan menjaga interaksi tersebut. Wujud dari teori-teori modernisasi
ini di antaranya interaksi antara negara Indonesia dengan donor asing sebagai
perwakilan dari negara maju. Rostow sempat menelorkan teori tahapan pembangunan
yang diindikasikan oleh nilai investasi negara. Peningkatan kemodernan
ditunjukkan oleh persentase investasi yang meningkat. Jika investasi tidak bisa
diupayakan dari dalam negeri, maka negara itu harus membuka dirinya untuk
berinteraksi dengan negara maju dan menerima investasi tersebut. Upaya untuk
memutus hubungan dengan negara maju akan dipandang sebagai kesalahan, sekaligus
dipandang akan menjauhkan Indonesia dari kemodernan.
Pandangan
yang berlawanan muncul dari teori-teori keterbelakangan. Teori ini justru
memandang titik permasalahan pembangunan terletak pada hubungan yang dijalin
antara negara maju dan negara terbelakang. Semakin ketat hubungan tersebut,
maka dominasi negara maju kepada negara terbelakang juga semakin kuat.
Barangkali ada pula keuntungan yang diambil oleh negara terbelakang, namun
keuntungan itu hanya diperoleh golongan elite. Kenyataannya memang elite negara
terbelakang memiliki hubungan harmonis dengan elite negara maju. Akan tetapi
golongan massa di negara terbelakang tidak mampu membangun interaksi dengan
golongan massa di negara maju.
2.10.2.
Kemandirian Desa Sebuah Agenda
Berbeda
dari pandangan modernis yang selalu melihat desa dalam hubungannya dengan kota,
dalam bahasan ini akan dipahami lebih mendalam kemandirian desa. Aspek
penting dari hubungan antar warga desa ialah rasa kesatuan sebagai suatu
entitas sosial. Rasa kesatuan ini didukung oleh solidaritas sosial di antara
mereka, baik melalui hubungan-hubungan kekerabatan maupun, yang lebih tegas
lagi, melalui ikatan tempat tinggal yang berdekatan.
Solidaritas
di antara warga sedesa sendiri dikuatkan melalui perkumpulan bersama yang
dikelola oleh warga desa sendiri, juga dalam bidang pemerintahan (kepala desa
dan aparatnya), keagamaan (guru agama lokal), pendidikan (terutama pendidikan
lokal, misalnya pesantren), sampai pekuburan bersama.
Solidaritas
sedesa ini bahkan mungkin lebih penting daripada ikatan di dalam keluarga atau
rumahtangga (di luar urusan reproduksi). Hal ini sempat terwujud dalam
interaksi yang kuat di langgar, di warung, di poskamling. Kelompok-kelompok
warga desa lelaki bahkan biasa tidur di sana. Solidaritas sedesa juga terwujud
dalam bentuk gotong royong maupun tolong menolong. Konsep-konsep lokal seperti
gugur gunung, kerja bakti, mapalus, maposan, dan sebagainya, menunjukkan pola
kerja bersama ini menempati posisi penting dalam interaksi masyarakat desa.
Sesuai
dengan sejarah masyarakat masing-masing, makna desa sebagai entitas solidaritas
sosial ini menemukan bentuknya secara berbeda. Desa yang tidak pernah berubah
besar kemungkinan memiliki solidaritas sedesa. Sebagian desa-desa di Jawa yang
dibentuk dari penyatuan beberapa desa sebelumnya, untuk mempermudah pencacahan
jiwa dan penarikan pajak sejak masa penjajahan Hindia Belanda, bisa jadi
menemukan solidaritasnya dalam dusun-dusunnya. Sebaliknya sebagian nagari (desa
di Minangkabau) yang semula terlalu luas sehingga dipecah menjadi beberapa desa
baru, mungkin justru menemukan solidaritasnya secara lintas desa.
Sebagian
dari ikatan-ikatan penyusun solidaritas tersebut meliputi beberapa desa
sekitar. Contohnya suatu pura di Bali dikelola oleh warga dari
beragam banjar (desa asli). Begitu pula pengajian biasa menyatukan warga-warga
dari desa-desa yang berdekatan di Madura.
Dalam
konteks kemandirian tersebut, pola pembangunan desa yang umumnya dilaksanakan
pemerintah dapat dibaca sebagai dominasi negara terhadap desa. Salah satu
landasan pengetahuan ini ialah paradigma modernisasi dalam pembangunan desa.
Dalam proses dominasi negara tersebut, kemandirian desa menjadi merosot.
Suatu
pembacaan yang sedikit berbeda terhadap hasil pembangunan desa dapat berupa
keragaman tingkat solidaritas. Pengurangan waktu untuk berinteraksi sebagai
implikasi dari pembangunan dan pola kerja baru tidak merata kepada semua
tingkatan. Efeknya yang teringan mungkin dapat berupa ketahanan yang tinggi
dalam wujud solidaritas di tingkat desa. Implikasi yang lebih kuat dapat menurunkan
solidaritas sampai pada level dusun. Implikasi yang lebih mendalam mungkin
menurunkan solidaritas hanya di tingkat RT (Rukun Tetangga). Pembangunan yang
massif, disertai urbanisasi, atau masuknya perumahan orang kota de dalam desa,
mungkin bahkan sampai menurunkan solidaritas sebatas gang.
Perbedaan
derajat solidaritas, bahkan di dalam desa di atas, dapat dibaca pula sebagai
perbedaan level komunitas. Solidaritas sedesa menghasilkan komunitas desa.
Solidaritas sedusun menunjukkan bahwa entitas komunitas dusun lebih penting
untuk membangun interaksi antar warga, daripada di tingkat desa. Solidaritas
se-RT menunjukkan bahwa komunitas terpenting di desa itu ialah di tingkat RT.
Bahkan solidaritas se-gang akan menunjukkan jumlah komunitas yang sangat banyak
di satu desa, karena bangunan interaksi warga menguat satu-satu per komunitas
gang. Paradigma menunjuk kepada, pertama, suatu pandangan tertentu
terhadap suatu entitas, atau bisa dinyatakan sebagai sisi ontologis entitas
tersebut. Sisi ontologis pemberdayaan dapat merujuk kepada makna kekuasaan dan
makna masyarakat sebagai pembangunan pemberdayaan tersebut.
Kedua,
suatu perilaku dari entitas tersebut, yang mencakup metodologi maupun instrumen
atau peralatan yang dibutuhkan untuk menggalinya, sampai kepada aksiologis
beserta sekelompok orang pendukung paradigma yang dianut tersebut. Suatu
revolusi paradigma memang lebih berguna bagi masa depan. Ia melihat masa depan.
Begitu suatu paradigma baru diterima, dengan sendirinya ia akan mendefinisikan
sendiri maka fakta-fakta yang lebih relevan untuk diambil dan dianalisis. Ia
akan menentukan cara menganalisis, tentu saja sambil mengembangkan metodologi
sampai teknik-teknik pengambilan dan analisis data yang baru. Dengan
aksiologi yang berbeda, maka usulan kebijakan pun akan berbeda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan
sebagai berikut :
Masyarakat
desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat
istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan
mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan
manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat
secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
d
Daerah
dan letak dalam arti tanah yang meliputi luas, lokasi.
e
Penduduknya
dalam arti jumlah, struktur umur, mata pencaharian.
f Tata
kehidupan dalam arti corak, pola tata pergaulan dan ikatan warga desa.
DAFTAR
PUSTAKA
Goldscheider, Calvin. 1985. Populasi,Modernisasi dan Struktur
Sosial. Terjemahan oleh Algozali Usman dan Andre Bayo Ala. CV
Rajawali.
Mantra, I.B. 1978. Population Movement In Wet Rice
Communities : a case study of two Dukuh In Yogyakarta Special.
Lee, Eevert, 1966. Teori Migrasi. Diterjemahkan
oleh Hans Daeng. Pusat Penelelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada
Yogyakarta.
Todaro, Michael P. dan Stephen C.
Smith. 2004. Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke 8.
Mas izin copy inti makalahnya ya..buat catatan MK ekonomi pedesaan
BalasHapustrimakasih... sangat bermanfaat banget
BalasHapussemoga semakin sukses....
cie exis tenan koncoku
BalasHapus