Senin, 27 April 2015

Makalah ekonomi pedesaan



TUGAS MANDIRI

EKONOMI PEDESAAN





                

                             Nama              :    Fajri Arif Wibawa        
                             NPM               :    11210082
                             Prodi               :    Pendidikan Ekonomi
                             Matakuliah     :    Ekonomi Pedesaan
                             Dosen             :    Drs. Sastra Irawan, SE.

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
SEPTEMBER 2011

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
            Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan kesempatan ini, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada :
1.    Bapak Drs. Sastra Irawan, SE.  selaku dosen mata kuliah Ekonomi Pedesaan.
2.    Kedua orang tua saya yang selalu memberikan semangat kepada kami.
3.    Semua pihak yang  telah berkenan memberikan bantuan-bantuan.
            Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini, masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga pembuatan makalah yang akan datang dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.



DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................  i
Kata Pengantar ...........................................................................................  ii
Daftar Isi .......................................................................................................  iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................  1
1.1 Latar Belakang ................................................................................  1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 3
1.3 Tujuan ..............................................................................................  4
1.4 Manfaat ............................................................................................  5
1.5 Metode Pencarian Materi ..............................................................  5
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................  6
2.1 Pengertian Masyarakat Desa .......................................................  6
2.2 Ciri-ciri Masyarakat Desa ..............................................................  9
2.3 Perebedaan Masyarakat Pedesaan Dengan Perkotaan .........  7
2.4 Pentingnya Peningkatan Perekonmian Desa .........................  11
2.5 Pentingnya Migrasi Sirkuler sebagai Faktor Peningkatan Ekonomi Desa  13
2.6 Dampak Migrasi Sirkuler terhadap Peningkatan Ekonomi
..... Desa .................................................................................................  13
2.7 Peningkatan Ekonomi Desa dalam Peningkatkan Pembangunan Ekonomi Indonesia  21
2.8 Masalah Pembangunan Perdesaan .........................................  22
2.9 Pemberdayaan Masyarakat Desa ..............................................  26
2.10 Pembangunan Ekonomi Perdesaan .......................................  31
BAB III PENUTUP ......................................................................................  40
3.1 Kesimpulan ....................................................................................  40
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Berdasarkan data pada tahun 2006, yang diungkapkan oleh Menteri Pembangunan Desa Tertinggal kala itu, diketahui bahwa jumlah desa di Indonesia adalah sekitar 70.611 desa, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa tertinggal. Untuk meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia, tentunya tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi di desa-desa yang ada di negara ini. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dikaji hubungan antara migrasi dan pertumbuhan ekonomi di desa, sejauh mana peranan pembangunan ekonomi desa melalui migrasi sirkuler dapat meningkatkan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Goldscheider (1985) menggambarkan adanya variasi tipe-tipe migrasi yang kompleks dalam struktur sosial suatu masyarakat. Oleh karena itu, perubahan struktur sosial masyarakat tidak hanya mengubah pola-pola migrasi, tetapi perubahan migrasi secara perlahan-lahan bisa mengubah struktur sosial masyarakat di suatu komunitas atau kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Menurut Todaro(2004), migrasi adalah suatu proses perpindahan sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjin sosialnya bukan hanya positif, tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi.
Pelaku migrasi sirkuler sebagian besar terdiri dari: buruh tani, penduduk pedesaan yang bukan petani (pedaganng, tukang dengan keterampilan tertentu, buruh serabutan), dan penganggur (tanpa pendidikan dan/atau dengan sedikit bekal pendidikan). Di samping itu, diantara mereka terdapat pula petani kecil/ gurem dan/atau petani yang tidak bertanah (punya tanah dan punya modal) yang turut ambil bagian dalam kegiatan migrasi sirkuler ini.
Terkait dengan ulasan di atas migrasi dapat menyebabkan adanya transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi dapat didefinisikan sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan sosial-ekonomi (sebagai akibat pembangunan). Lee (1966) dalam teorinya “ Dorong – Tarik” (Push-Pull Theory) berpendapat bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh faktor pendorong di desa dan penarik di kota. Teori tersebut menerangkan tentang proses pengambilan keputusan untuk bermigrasi yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, faktor-faktor rintangan, dan faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor yang terdapat didaerah asal dan tujuan dibedakan menjadi tiga, yaitu: faktor-faktor daya dorong (push factor), faktor-faktor daya tarik (pull factor), dan faktor-faktor yang bersifat netral (neutral).
Faktor-faktor yang bersifat netral pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap pengembilan keputusan untuk bermigrasi. Todaro (2004) menjelaskan bahwa pertumbuhan migrasi dari desa ke kota yang terus menerus meningkat merupakan penyebab utama semakin banyaknya pemukiman-pemukiman kumuh di perkotaan, namun sebagian lagi disebabkan lagi oleh pemerintah di masing-masing negar paling miskin. Sadar atau tidak mereka juga turut menciptakan pemukiman kumuh tersebut. Maka dari itu, kebanyakan warga desa memilih untuk melakukan migrasi sirkuler. Dalam makalah ini akan dibahas lebih dalam faktor dan dampak migrasi sirkuler di desa dan pengaruhnya terhadap pembangunan ekonomi secara nasional. Sosiologi mempelajari hubungan-hubungan kelompok orang (Sajogyo 1971:3), ilmu yang mempelajari hubungan-hubungan di dalam dan antara kelompok masyarakat, sedangkan “kelompok masyarakat” digambarkan sebagai sejumlah orang yang saling “berhubungan” menurut corak-corak tertentu (Sajogyo 1971:2). Sementara sosiologi pedesaan yang dinyatakan oleh Sajogyo sebagai lapangan khas dari sosiologi umum yang berspesialisasi pada peneropongan masyarakat pedesaan.
Sosiologi pedesaan mempelajari kehidupan sosial organisasi/kelompok beserta perubahan-perubahannya sebagai konsekuensi dari adanya proses sosial. Objek studi sosiologi pedesaan adalah seluruh penduduk di pedesaan yang terus menerus atau sementara tinggal di desa. Desa merupakan tempat sekelompok kecil orang atau masyarakat yang mendiami suatau tempat. Desa mempunyai suatu sistem tersendiri baik dari segi pemerintahan maupun dari sistem kebudayaan. Desa sebagai suatu sistem adalah suatu kesatuan yang utuh, terbentuk secara berkesinambungan dalam waktu yang lama.
Di dalam suatu desa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya diferensiasi. Diferensiasi (perbedaan) sosial mengasumsikan bahwa dalam masyarakat terdapat sejumlah kedudukan dan peranan yang diberi penilaian berbeda-beda. Konsep diferensiasi sosial lebih menekankan pada adanya sejumlah kedudukan dan peranan yang berbeda dalam masyarakat yang memberikan kemampuan mengakses sumberdaya (kekayaan, kekuasaan, kehormatan, dll) secara berbeda-beda. Perbedaan mengakses sumberdaya inilah yang akan membentuk sistem stratifikasi sosial yang dapat dibedakan menjadi lapisan atas dan lapisan bawah.  Oleh karena itu kita perlu mengetahui bagaimana ekonomi pedesaan itu.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu :
a.    Apa pengertian masyarakat desa?
b.    Bagaimana ciri-ciri masyarakat desa?
c.    Apa perbedaan masyarakat pedesaan dengan perkotaan?
d.    Sepenting apakah ekonomi pedesaan ditingkatkan?
e.    Mengapa migrasi sirkuler menjadi faktor penting bagi peningkatan ekonomi desa?
f.     Apa dampak yang dihasilkan dari migrasi sirkuler terhadap peningkatan ekonomi desa?
g.    Sejauh mana peningkatan ekonomi desa bisa meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia?
h.    Bagaimana masalah pembangunan pedesaan?
i.      Bagaimana pemberdayaan masyarakat desa?
j.      Bagaimana pembangunan ekonomi pedesaan?

1.3       Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka kami dapat mengemukakan beberapa tujuan makalah ini, yaitu :
a     Untuk mengetahui apa pengertian masyarakat desa.
b     Untuk mengetahui bagaimana ciri-ciri masyarakat desa.
c      Untuk mengetahui apa perbedaan masyarakat pedesaan dengan perkotaan.
d     Untuk mengetahui sepenting apakah ekonomi pedesaan ditingkatkan.
e     Untuk mengetahui mengapa migrasi sirkuler menjadi faktor penting bagi peningkatan ekonomi desa.
f       Untuk mengetahui apa dampak yang dihasilkan dari migrasi sirkuler terhadap peningkatan ekonomi desa.
g     Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan ekonomi desa bisa meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia.
h     Untuk mengetahui bagaimana masalah pembangunan pedesaan.
i       Untuk mengetahui bagaimana pemberdayaan masyarakat desa.
j       Untuk mengetahui bagaimana pembangunan ekonomi pedesaan.

1.4       Manfaat
1.    Sebagai media belajar dan tambahan wawasan bagi penulis.
2.    Memberikan informasi bagi pembaca.
3.    Dapat memahami atau menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh.

1.5       Metode Pencarian Materi
Penulis dalam mencari materi menggunakan metode kajian pustaka yaitu mencari di buku dan internet.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Masyarakat Desa
Dalam Bahasa Inggris disebut Society, asal katanya Socius yang berarti“kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk-bentuk akhiran hidup, yang bukandisebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur-unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan satu-kesatuan.
Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma adalah suatukesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri. Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi, sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalamhubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.Sedangkan menurut Paul H. Landis desa adalah penduduknya kurang dari2.500 jiwa. Dengan ciri-ciri sebagai berikut :1) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.2) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan3) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangatdipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkanpekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Traditionartinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan adabeberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendirimengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemeliharasistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong,keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat- istiadat, kesenian, kehidupan moral, susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yangjelas.Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagaikesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul danadat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan NegaraKesatuan Republik Indonesia.Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagikeberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil daribangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragamantersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengandemikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkandari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan denganpembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyatmiskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidupmasyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat danmembuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan,yang keuntungannya direnggut oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desatersebut: bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan pembangunan. Karena itu, Program PengembanganKecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatanpada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK,orientasi penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, diSumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun) dalammengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK seringdipelesetkan menjadi proyek para klebun.
Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadisesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, daridan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation)bernama Indonesia.Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkansampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep:”Membangun desa,menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan,tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantanganyang harus segera dijawab.
Masyarakat pedesaan selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidupbermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasidan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebutsudah “tidak berlaku”. Masyarakat pedesaan juga ditandai dengan pemilikan ikatanperasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yagn amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakanbagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demimasyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalammasyarakat. Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :1) Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yanglebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaanlainnya di luar batas wilayahnya. 2) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. 3) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. 4) Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat istiadat, dan sebagainya. Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai macam gejala, khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan-ketegangan sosial.
Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
a     Daerah dan letak dalam arti tanah yang meliputi luas, lokasi.
b     Penduduknya dalam arti jumlah, struktur umur, mata pencaharian.
c      Tata kehidupan dalam arti corak, pola tata pergaulan dan ikatan warga desa.

2.2       Ciri-ciri Masyarakat Desa
Adapun ciri yang menonjol pada masyarakat desa antara lain pada umumnya kehidupannya tergantung pada alam (bercocok tanam) anggotanya saling mengenal, sifat gotong royong erat penduduknya sedikit perbedaan penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat.
a     Lingkungan dan Orientasi Terhadap Alam
Desa berhubungan erat dengan alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis di daerah desa petani, realitas alam ini sangat vital menunjang kehidupannya. Kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam seperti dalam pola berfikir dan falsafah hidupnya menentukan.
b     Dalam Segi Pekerjaan/Mata Pencaharian
Umumnya mata pencaharian daerah pedesaan adalah bertani, sedangkan mata pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder sebagian besar penduduknya bertani.
c      Ukuran Komunitas
Komunitas pedesaan biasanya lebih kecil dan daerah pedesaan mempunyai penduduk yang rendah kilo meter perseginya.
d     Kepadatan Penduduknya
Kepadatan penduduknya lebih rendah, biasanya kelompok perumahan yang dikelilingi oleh tanah pertanian udaranya yang segar, bentuk interaksi sosial dalam kelompok sosial menyebabkan orang tidak terisolasi.
e     Diferensiasi Sosial
Pada masyarakat desa yang homogenitas, derajat diferensiasi atau perbedaan sosial relatif lebih rendah.
f       Pelapisan Sosial
Masyarakat desa kesenjangan antara kelas atas dan kelas bawah tidak terlalu besar.
g     Pengawasan Sosial
Masyarakat desa pengawasan sosial pribadi dan ramah tamah disamping itu kesadaran untuk mentaati norma yang berlaku sebagai alat pengawasan sosial.
h     Pola Kepemimpinan
Menentukan kepemimpinan di daerah cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu. Disebabkan oleh luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui. Misalnya karena kejujuran, kesolehan, sifat pengorbanannya dan pengalamannya.

2.3       Perebedaan Masyarakat Pedesaan Dengan Perkotaan
1.    Lingkungan umum dan orientasi terhadap alam
Masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasigeografisnya di daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
2.    Pekerjaan atau mata pencaharian
Pada umumnya mata pencaharian di dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yg bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerahpertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.3) Ukuran komunitasKomunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
3.    Kepadatan penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah biladibandingkan dgn kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk suatukomunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itusendiri.
4.    Homogenitas dan heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-cirisosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilakunampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan denganmasyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen,terdiri dari orang-orang dengan macam-macam perilaku, dan jugabahasa, penduduk di kota lebih heterogen.
5.    Diferensiasi sosial, Keadaan heterogen dari penduduk kota berindikasipentingnya derajat yg tinggi di dalam diferensiasi sosial.
6.    Pelapisan sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yg tinggi berada padaposisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelasekstrem dari masyarakat. Ada beberapa perbedaan pelapisan sosial yangtak resmi antara masyarakat desa dan kota:
a     pada masyarakat kota aspek kehidupannya lebih banyak system pelapisannya dibandingkan dengandi desa.
b     pada masyarakat desa kesenjangan antara kelas eksterm dalam piramida sosial tidak terlalu besar dan sebaliknya.
c      masyarakat perdesaan cenderung pada kelas tengah.
d     ketentuan kasta dan contoh perilaku.
7.    Mobilitas sosial, Mobilitas berkaitan dengan perpindahan yang disebabkan olehpendidikan kota yang heterogen, terkonsentrasinya kelembagaan-kelembagaan, banyak penduduk yg pindah kamar atau rumah, waktu ygtersedia bagi penduduk kota untuk bepergian per satuan, bepergian setiaphari di dalam atau di luar, waktu luang di kota lebih sedikit dibandingkandi daerah pedesaan, interaksi social masyarakat pedesaan lebih sedikitjumlahnya, dalam kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupunsecara kualitatif.
8.    Pengawasan socialDi kota pengawasan lebih bersifat formal, pribadi dan peraturan lebihmenyangkut masalah pelanggaran.
9.    Pola kepemimpinan, Menentukan kepemimpinan di daerah perdesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu dibandingkan dengan kota.
10. Standar kehidupanDi kota tersedia dan ada kesanggupan dalam menyediakan kebutuhantersebut, di desa tidak demikian.
11. Kesetiakawanan sosialKesetiakawanan sosial pada masyarakat perdesaan dan perkotaan banyak ditentukan oleh masingmasing faktor yang berbeda
12. Nilai dan sistem nilaiNilai dan system nilai di desa dengan di kota berbeda dan dapat diamatidalam kebiasaan, cara dan norma yang berlaku.

2.4       Pentingnya Peningkatan Perekonmian Desa
Masyarakat desa sebagai dasar awal dalam pembangunan di Indonesia, sampai saat ini masih sering terlupakan. Masyarakat desa pada umumnya sebagian besar dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Pemenuhan akan kebutuhan mereka pun rasanya masih sulit untuk terpenuhi. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembangunan ekonomi suatu negara tidak lepas dari pembangunan bagian kecilnya sekalipun, yaitu desa. Kemajuan perekonomian desa-desa dan semua wilayah atau dengan kata lain pemerataan kemajuan ekonomi merupakan target penting dalam pembangunan ekonomi negara.
Kondisi desa saat ini pun masih cukup memprihatinkan, sekitar 45% desa di Indonesia masih masuk dalam kategori tertinggal (yusuf, 2006). Oleh karena itu, kemajuan perekonomian desa memiliki andil yang cukup besar, dan salah satu solusi yang kami tawarkan untuk memajukan perekonomian desa untuk mencapai keseimbangan kesempatan ekonomi antara desa dan kota adalah dengan migrasi sirkuler. Karena peningkatan ekonomi desa yang dilakukan dengan kesadaran penuh tiap individu yang berada di dalamnya akan membangun sistem perekonomian yang lebih maju dan kuat, dimana ini bisa terbentuk dengan adanya migrasi sirkuler yang terencana.

2.5       Pentingnya Migrasi Sirkuler sebagai Faktor Peningkatan Ekonomi Desa
Menurut Kartomo (Wirosuhadjo, 1981:116) definisi migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/ Negara ataupun batas administratif/ batas bagian Negara. Selanjutnya Kartomo mengatakan bahwa apabila seseorang tidak bermaksud menetap di daerah yang didatangi dan telah tinggal di daerah itu kurang dari tiga bulan, maka orang tersebut dapat digolongkan dalam migrasi sirkuler. Sementara Hadi Supadmo(1991:2) mendefinisikan  mobilitas sirkuler adalah penduduk yang bekerja di luar wilayah desanya dan pulang kembali setelah minimal dua hari dan maximal enam bulan baik secara teratur maupun tidak. Batas waktu  minimal dua hari untuk membedakan dengan mobilitas ulang-alik dan batas waktu maximal enam bulan untuk membedakan dengan migran menetap. Mantra (1988), menyatakan bahwa batasan tempat dan waktu tersebut lebih banyak ditentukan berdasarkan kesepakatan.
Mobilitas atau perpindahan penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk terhadap pembangunan yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya. Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobilitas penduduk. Tetapi juga tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan pembangunan itu sendiri.
Lee (1966) dalam teorinya “ Dorong – Tarik” (Push-Pull Theory) berpendapat bahwa migrasi dari desa ke kota disebabkan oleh faktor pendorong di desa dan penarik di kota. Teori tersebut menerangkan tentang proses pengambilan keputusan untuk bermigrasi yang dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan, faktor-faktor rintangan, dan faktor-faktor pribadi. Faktor-faktor yang terdapat didaerah asal dan tujuan dibedakan menjadi tiga, yaitu: faktor-faktor daya dorong (push factor), faktor-faktor daya tarik (pull factor), dan faktor-faktor yang bersifat netral (neutral). Faktor-faktor yang bersifat netral pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap pengembilan keputusan untuk bermigrasi.
Desa sangat erat hubungannya dengan kemiskinan, karena perekonomian di desa dipandang sangat tertinggal dibandingkan dengan di kota. Tidak hanya itu, sumber daya yang ada di desa baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dianggap tidak memiliki prospek yang bagus untuk kemajuan desa. Sektor  pertanian biasanya merupakan mata pencahariaan utama di desa, namun pada kenyataannya kini sektor pertanian sudah tidak dapat menyejahterakan warga desa lagi.
Mantra (1981), juga menyebutkan adanya kekuatan yang mendorong penduduk untuk pergi ke daerah lain (kekuatan sentrifugal), yaitu ; ketidakpuasan pendapatan di bidang pertanian, kurangnya kesempatan kerja dan keterbatasan fasilitas. Rusli (1982), menambahkan bahwa tingkat upah yang rendah dari pekerjaan-pekerjaan pertanian mendorong penduduk desa untuk cenderung mencari pekerjaan-pekerjaan non pertanian seperti pekerjaan di bidang industri. Intinya adalah ketidakpuasaan terhadap upah atau pendapatan yang diperoleh di tempat asal mendorong seseorang pergi ke kota dan berharap akan mendapatkan upah yang lebih baik.
Setelah sebagian besar warga desa melakukan migrasi ke kota, ternyata mereka tidak tahan berlama-lama hidup di kota. Hal ini bisa jadi karena desa memiliki penahan yang kuat sebagai tempat tinggal, hal tersebut disebabkan adanya ikatan keluarga, biaya hidup murah, dan dapat bercocok tanam.  Sementara Mantra (1981) dalam penelitiannya di Daerah Istimewa Yogyakarta, meyebutkan adanya kekuatan yang menahan penduduk untuk tetap tinggal di desa (kekuatan sentripetal) yaitu; 1. Ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang erat, yang tercermin dari semboyan “Mangan ora mangan waton kumpul”, 2. Sistem gotong royong yang kuat, yakni tiap warga desa merasa mempunyai tugas moral untuk saling membantu warga desa yang lain, 3. Pemilikan tanah pertanian memberikan status yang tinggi, karena itu enggan meninggalkan desa untuk menetap di daerah lain, 4. Ikatan batin dengan leluhur mereka, dilakukan dengan mengunjungi makam leluhur setiap bulan ruwah (sya’ban) dan lebaran (syawal), dan 5. Ongkos transportasi yang tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan mereka. Lebih lanjut Mantra (1981) menyebutkan bahwa untuk mengatasi kedua kekuatan ini maka penduduk desa memilih jalan tengah yaitu dengan migrasi sirkuler.
Dari berbagai macam penjelasan tentang keterkaitan antara migrasi sirkuler dan peningkatan ekonomi di desa, dapat dikatakan bahwa migrasi sirkuler menjadi pilihan yang efektif bagi peningkatan ekonomi desa. Hal ini dapat terlihat dari peningkatan pendapatan dari para pelaku migrasi sirkuler yang setiap bulannya selalu dikirimkan kepada keluarga mereka di desa. Dari uang kiriman para imigran tersebut terlihat adanya peningkatan GDP desa dan peningkatan taraf hidup masyarakat desa. Sebagian besar uang kiriman tersebut digunakan untuk memperbaiki kebutuhan dasar mereka, seperti ; pangan, sandang, dan papan. Selebihnya uang tersebut digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa.
2.6       Dampak Migrasi Sirkuler terhadap Peningkatan Ekonomi Desa
Migrasi sirkuler muncul untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat desa. Adanya migrasi dapat menyebabkan adanya transformasi sosial-ekonomi. Transformasi sosial-ekonomi dapat didefinisikan sebagai “proses perubahan susunan hubungan-hubungan sosial-ekonomi (sebagai akibat pembangunan). Desa dirasa perlu memiliki sebuah lembaga keuangan yang berfungsi untuk mengelola keuangan para migran guna membantu peningkatan pembangunan desa agar proses pembangunan terkontrol dengan baik.
Pada dasarnya masyarakat pedesaan (khususnya di Jawa) sebenarnya merasa enggan untuk pergi untuk meninggalkan desanya. Akan tetapi karena mekanisme bekerjanya faktor-faktor di luar kemauan dan kemampuan merekalah maka sebagian dari mereka terpaksa pergi meninggalkan desanya. Oleh karena itu, kepergian mereka dari desa, sebagian besar hanya bersifat sementara.
Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migraton). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi. Tetapi semenjak dasawarsa 1970-an banyak dijumpai pula mobilitas penduduk  yang bersifat paksaan atau “dukalara” atau terdesak (impelled) (Peterson,W:1969). Mobilitas penduduk akibat kerusuhan politik atau bencana alam seperti yang terjadi di Sakel ataupun Horn, Afrika merupakan salah satu contoh. Adanya berbagai tekanan dari segi politik, sosial, ataupun budaya menyababkan individu tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melakukan perhitungan manfaat ataupun kerugian dari aktivitas migrasi tersebut. Mereka berpindah ke daerah baru dalam kategori sebagai pengungsi (refugees). Para pengungsi ini memperoleh perlakuan yang berbeda di daerah tujuan dengan migran yang berpindah semata-mata karena motif ekonomi (Beyer, Gunther;1981; Adelman: 1988).
Terdapat dampak positif dan negatif yang diakibatkan oleh  migrasi. Dampak positifnya adalah peningkatan penghasilan para imigran yang berdampak pada peningkatan ;
  1. Kebutuhan dasar,
Sekarang mereka dapat membeli bahan-bahan makanan yang bergizi dalam jumlah yang lebih banyak, mereka juga dapat memperbaiki rumah-rumah mereka yang biasanya menggunakan bilik sekarang sudah menggunakan tembok, baju yang mereka gunakan lebih modern daripada dulu, seperti penggunaan kebaya yang sudah ditinggalkan dan kini mereka mulai menggunakan kaos dan celana jeans, sudah mulai dibangun beberapa lembaga kesehatan seperti puskesmas dan posyandu di desa guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan dan juga untuk memperbaiki gizi masyarakat. Kesehatan dan pendidikan adalah investasi yang dibuat dalam individu yang sama.
Modal kesehatan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan karena: 1. Kesehatan adalah faktor penting atas kehadiran di sekolah; 2. Anak-anak yang sehat lebih berprestasi di sekolah/ dapat belajar secara lebih efisien; 3. Kematian yang tragis pada anak-anak usia sekolah juga meningkatkan biaya pendidikan per tenaga kerja, sementara harapan hidup yang lebih lama akan meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan; 4. Individu yang sehat lebih mampu menggunakan pendidikan secara produktif di setiap waktu dalam kehidupannya.
Modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi kesehatan karena: 1. Banyak program kesehatan bergantung pada berbagai keterampilan yang dipelajari di sekolah (termasuk melek huruf dan angka); 2. Sekolah mengajarkan pokok-pokok kesehatan pribadi dan sanitasi; 3. Dibutuhkan pendidikan untuk membentuk dan melatih petugas pelayanan kesehatan.
Setelah adanya peningkatan pendapatan para imigran, perbaikan efisiensi produktif dari investasi dalam pendidikan dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kesehatan yang meningkatkan harapan hidup.
2.    Infrastruktur
Lembaga pengelolaan penghasilan imigran dapat membantu untuk memperbaiki infrastruktur di desa. Pendanaan pembangunan tersebut diperoleh dari iuran yang dikumpulkan secara kolektif oleh lembaga tersebut untuk memperbaiki beberapa  sarana dan prasarana di desa, seperti; jalanan, masjid, gedung sekolah, kantor kepala desa, dan saluran irigasi.
Seperti kasus di Desa Ciasihan, kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor. Kondisi infrastuktur yang ada di desa pada awalnya sangat buruk, akan tetapi seiring dengan berkembangnya informasi dan semakin luasnya pandangan masyarakat tentang pentingnya sarana dan prasarana. Maka dengan uang yang mereka kumpulkan di Lembaga Keuangan Desa, mereka dapat memperbaiki sedikit demi sedikit prasarana yang ada, seperti, pembuatan WC Umum dan adanya penyaluran air bersih dari gunung melalui selang-selang yang dipasang hingga tempat-tempat penampungan air yang tersedia.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh migrasi sirkuler terhadap  pembangunan ekonomi di desa adalah memburuknya keseimbangan struktural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama di sisi penawaran, migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Lonjakan yang setinggi itu belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah, dan semakin lama semakin sulit diakomodasikan, apalagi proporsi migran berusia muda yang memiliki pendidikan dan keterampilan memadai semakin besar. Kehadiran para pendatang tersebut cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sementara persediaan tenaga kerja yang sangat bernilai di pedesaan semakin tipis. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perlotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input-input komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya. Di samping itu, tekanan kenaikan upah di perkotaan dan tuntutan karyawan untuk mendapatkan aneka tunjangan kesejahteraan, serta tidak tersedianya aneka teknologi  produksi “tepat guna” yang lebih padat karya juga membuat para produsen enggan menambah karyawan karena sekarang peningkatan output sektor modern tidak harus dicapai melalui peningkatan produktivitas atau jumlah pekerja.
Di samping itu juga adanya penurunan jumlah sumber daya manusia untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sosial atau kegiatan gotong royong guna membangun desa.  Bila hal ini berlangsung terus-menerus dikhawatirkan bahwa kehidupan sosial dan gotong royong yang ada di desa saat ini makin lama akan menjadi sirna.
Hal-hal yang diuraikan di atas terutama tampak dominan untuk daerah-daerah yang jarak antara kota dan desa dapat dikatakan sedang atau jauh (jauh dan sedang dalam arti waktu dan/ atau kemudahan fasilitas transportasi) lain halnya dengan daerah-daerah pedesaan yang dalam arti waktu dan kemudahan fasilitas transportasi tersebut relatif dekat dengan kota.
Menurut Todaro (2004), ada beberapa dampak yang dihasilkan dari migrasi sirkuler yaitu penciptaan keseimbangan ekonomi antara kota dan desa. Keseimbangan kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi menanggulangi masalah-masalah pengangguran di desa-desa maupun kota-kota di berbagai Negara-negara berkembang serta untuk mengurangi migrasi desa ke kota; Perluasan industri kecil yang padat karya. Komposisi atau bauran output sangat mempengaruhi jangkauan (dan dalam banyak hal, termasuk juga lokasi) kesempatan kerja karena beberapa produk (terutama barang-barang konsumsi pokok) membutuhkan lebih banyak tenaga kerja bagi setiap unit output dan setiap unit modal daripada produk atau barang-barang lainnya; Pengurangan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya pengentasan kemiskinan absolute dan perbaikan distribusi pendapatan, terutama bagi kaum wanita yang disertai dengan menggalakkan program-program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan di daerah-daerah pedesaan.

2.7       Peningkatan Ekonomi Desa dalam Peningkatkan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah desa di Indonesia menacapai lebih dari 70 ribu, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa tertinggal. Sehingga untuk peningkatan pembangunan ekonomi Indonesia, tentunya tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi di desa-desa yang ada di negara ini.
Desa atau perdesaan merupakan bagian penting dari perencanaan da pembangunan. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di perdesaan, namun ironisnya hal ini berbanding lurus dengan kondisi kemiskinannya, dimana kantong-kantong kemiskinan juga berada di perdesaan. Masyarakat perdesaan yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, sangat sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Ketahanan suatu bangsa sebaiknya dibangun dari daerah-daerah, yaitu desa. Sehingga jika sebelumnya telah diketahui dampak migrasi sirkuler terhadap pertumbuhan ekonomi desa, maka dengan adanya peningkatan ekonomi desa inilah akan membuat semaikn kuatnya perekonomian dan pembangunan nasional.
Dengan adanya migrasi yang terkondisikan dengan baik, maka kemudian akan membuat suatu keseimbangan perekonomian antara desa dan kota, dimana hal ini sangat berpengaruh penting dalam pembangunan nasional. Kesempatan ekonomi yang setara antara desa dan kota akan menimbulkan suatu kesempatan kerja yang setara antara desa dan kota sehingga kemudian tingkat migrasi bisa ditekan kembali, sehingga keseimbangan perekonomian desa dan kota bisa terus terjaga. Sehingga adanya peningkatan ekonomi desa melalui migrasi ini bisa dijadikan suatu solusi bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.

2.8       Masalah Pembangunan Perdesaan
Pada rumusan dokumen pembangunan nasional RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Pembangunan perdesaan dimasukan dalam Bab 25. Kawasan perdesaan menghadapi permasalahan-permasalahan internal dan eksternal yang menghambat perwujudan kawasan permukiman perdesaan yang produktif, berdaya saing dan nyaman. Adapun permasalahan pembangunan perdesaan yang dihadapi terdapat 11 permasalahan dasar yaitu :
  1. Terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas. Kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya sangat terbatas. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil.
  1. Lemahnya keterkaitan kegiatan ekonomi baik secara sektoral maupun spasial. Kondisi ini tercermin dari kurangnya keterkaitan antara sektor pertanian (primer) dengan sektor industri (pengolahan) dan jasa penunjang, serta keterkaitan pembangunan antara kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan.
  1. Timbulnya hambatan (barrier) distribusi dan perdagangan antar daerah. Dalam era otonomi daerah timbul kecenderungan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk pengenaan pajak dan retribusi (pungutan) yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, di antaranya pungutan yang dikenakan dalam aliran perdagangan komoditas pertanian antar daerah yang akan menurunkan daya saing komoditas pertanian.
  1. Tingginya risiko kerentanan yang dihadapi petani dan pelaku usaha di perdesaan. Petani dan pelaku usaha di kawasan perdesaan sebagian besar sangat bergantung pada alam. Kondisi alam yang tidak bersahabat akan meningkatkan risiko kerugian usaha seperti gagal panen karena banjir, kekeringan, maupun serangan hama penyakit. Pada kondisi demikian, pelaku industri kecil yang bergerak di bidang pengolahan produk-produk pertanian otomatis akan terkena dampak sulitnya memperoleh bahan baku produksi. Risiko ini masih ditambah lagi dengan fluktuasi harga dan struktur pasar yang merugikan.
  1. Rendahnya aset yang dikuasai masyarakat perdesaan. Ini terlihat dari besarnya jumlah rumah tangga petani gurem (petani dengan pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha) yang mencapai 13,7 juta rumah tangga (RT) atau 56,2 persen dari rumah tangga pertanian pengguna lahan pada tahun 2003. Hal ini ditambah lagi dengan masih rendahnya akses masyarakat perdesaan ke sumber daya ekonomi seperti lahan/tanah, permodalan, input produksi, keterampilan dan teknologi, informasi, serta jaringan kerjasama.
  1. Rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana perdesaan. Ini tercermin dari total area kerusakan jaringan irigasi yang mencapai sekitar 30 persen, rasio elektrifikasi kawasan perdesaan yang baru mencapai 78 persen (tahun 2003), jumlah desa yang tersambung prasarana telematika baru mencapai 36 persen (tahun 2003), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses terhadap pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 6,2 persen (tahun 2002), persentase rumah tangga perdesaan yang memiliki akses ke prasarana air limbah baru 52,2 persen (tahun 2002), meningkatnya fasilitas pendidikan yang rusak, terbatasnya pelayanan kesehatan, dan fasilitas pasar yang masih terbatas di perdesaan khususnya di Kawasan Timur Indonesia.
  1. Rendahnya kualitas SDM di perdesaan yang sebagian besar berketrampilan rendah (low skilled). Ini ditunjukkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 5,84 tahun atau belum lulus SD/MI; sementara itu rata-rata lama sekolah penduduk perkotaan sudah mencapai 8,73 tahun. Proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan SMP/MTs ke atas hanya 23,8 persen, jauh lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang jumlahnya mencapai 52,9 persen. Kemampuan keaksaraan penduduk perdesaan juga masih rendah yang ditunjukkan oleh tingginya angka buta aksara yang masih sebesar 13,8 persen atau lebih dari dua kali lipat penduduk perkotaan yang angkanya sudah mencapai 5,49 persen (Susenas 2003).
  1. Meningkatnya konversi lahan pertanian subur dan beririgasi teknis bagi peruntukan lain. Di samping terjadinya peningkatan luas lahan kritis akibat erosi dan pencemaran tanah dan air, isu paling kritis terkait dengan produktivitas sektor pertanian adalah penyusutan lahan sawah. Pada kurun waktu 1992-2000 luas lahan sawah telah berkurang dari 8,2 juta hektar menjadi 7,8 juta hektar. Kondisi ini selain didorong oleh timpangnya nilai land rent pertanian dibanding untuk permukiman dan industri, juga diakibatkan lemahnya penegakan peraturan yang terkait dengan RTRW di tingkat lokal.
  1. Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sumber daya alam dan lingkungan hidup sebenarnya merupakan aset yang sangat berharga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun demikian, potensi ini akan berkurang bila praktekpraktek pengelolaan yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Contoh dari hal ini dapat dilihat pada data Statistik Kehutanan tahun 2002, di mana perkiraan luas lahan kritis sampai dengan Desember 2000 adalah 23,24 juta hektar, dengan 35 persen berada di dalam kawasan hutan dan 65 persen di luar kawasan hutan. Untuk hutan sendiri telah terjadi peningkatan laju degradasi dari 1,6 juta hektar/tahun pada kurun 1985-1997 menjadi 2,1 juta hektar/tahun pada kurun waktu 1997-2001.
  1. Lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat. Ini tercermin dari kemampuan lembaga dan organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar masyarakat dalam aktivitas ekonomi. Di samping itu juga terdapat permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak adil dan tidak setara. 
  2. Lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan secara terpadu akan melibatkan banyak aktor meliputi elemen pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta. Di pihak pemerintah sendiri, koordinasi semakin diperlukan tidak hanya untuk menjamin keterpaduan antar sektor tetapi juga karena telah didesentralisasikannya sebagian besar kewenangan kepada pemerintah daerah. Lemahnya koordinasi mengakibatkan tidak efisiennya pemanfaatan sumber daya pembangunan yang terbatas jumlahnya, baik karena tumpang tindihnya kegiatan maupun karena tidak terjalinnya sinergi antar kegiatan.
2.9       Pemberdayaan Masyarakat Desa
2.9.1         Tinjauan Teoritis Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Hakikat dari konseptualisasi empowerment berpusat manusia dan kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolok ukur normatif, struktural, dan substansial.  Dengan demikian konsep pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam proses pemberdayaan, masyarakat berupaya meningkatkan dan mengembangkan kemampuan unit-unit sosial, baik itu merupakan satuan komunitas maupun satuan sistem sosial dalam bentuk perangkat pranata sosial yang ada dikehidupan masyarakat (Jatiman, S, 2000). Oleh sebab itu di sini pemberdayaan dimaknai sebagai upaya menumbuhkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining power), sehingga memiliki akses dan kemampuan untuk mengambil keuntungan timbal balik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Keempat bidang ini saling mengkait. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat juga berarti memberikan wewenang dan pelayanan sehingga kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam empat bidang tersebut dapat berkembang. 
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan antara lain : PertamaKecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya.  Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi; dan Kedua Kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.  Dua kencenderungan tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. 
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat menggunakan asumsi yang mencakup lima hal (Agusta, 2001). Pertama, karakteristik penting pemberdayaan (empowerment), yang membedakannya dari pendekatan pembangunan berciri top down, ialah terdapat asumsi bahwa suatu tindakan individu dilakukannya untuk memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur atau mencari peluang pemberdayaan dari struktur yang ada. Tinjauan aktivitas dipusatkan pada individu-individu yang berhubungan dengan program pembangunan (stake holder secara individual). Kekuatan (power) yang tinggi pada individu bisa meruntuhkan struktur masyarakat yang lama dan menggantinya dengan struktur baru.  
Kedua, berkaitan dengan tindakan individu yang perlu bersifat otonom agar mampu menghasilkan perubahan sosial, asumsi lain yang muncul dalam pendekatan pemberdayaan ialah, bahwa partisipasi merupakan tindakan sukarela. Tindakan pemberdayaan atau pembebasan diri baru berarti ketika digerakkan oleh olahan persepsi, pemikiran, dan sikap individu itu sendiri. Internalisasi sikap ini akan menjadikan tindakannya berarti bagi dirinya, serta sulit untuk terhapus kembali dari dalam dirinya. Tindakan partisipasi yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri minimal menandakan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan, serta bersedia menanggung resiko.

Ketiga, terdapat asumsi bahwa sebagai tindakan sukarela, partisipasi mengarah kepada suatu tindakan rasional. Suatu tindakan partisipatif sesungguhnya menunjukkan resultante pengambilan keputusan dari keterbatasan pilihan yang ada. Tindakan rasional di sini diartikan sebagai pilihan atas sarana dalam hubungan dengan tujuan. Sarana adalah apa saja yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu rasional tidak mengacu kepada sarana atau tujuan itu sendiri, melainkan pada perilaku mengaitkan sarana dengan tujuan (Polanyi, et. al., 1957). Terhadap tujuan yang dikejar, jauh lebih rasional jika kita memilih sarana yang tepat. Hal inilah yang mendasari pemikiran bahwa rasionalitas dibatasi oleh konteks tindakan individu, yaitu konteks yang menghasilkan tujuan individu tersebut. Ketidakcukupan sarana baru dapat menimbulkan keharusan memilih bila, pertama, kegunaan sarana tersebut lebih dari satu; kedua, tujuan dijadikan bertingkat-tingkat, yaitu setidaknya dua tujuan tersusun dalam urutan preferensi. Mudah dilihat akibat dari pemikiran ini, bahwa pilihan atas sarana dapat ada tanpa adanya ketidakcukupan, dan ketidakcukupan sarana dapat ada tanpa menimbulkan keharusan memilih. Keadaan terakhir tidak berujung pada tindakan rasional. 
Keempat, terdapat asumsi yang berkaitan dengan program dan proyek, yaitu bahwa program atau proyek adalah sumberdaya yang langka. Perubahan suatu masyarakat, termasuk di antaranya pemberdayaan masyarakat, memiliki dimensi yang luas dan saling berkaitan, serta menempuh waktu yang lama. Mengingat kompleksitas tersebut, suatu program secara sendirian sulit untuk membangun argumen mengenai kemampuannya membangun masyarakat. Walaupun demikian, program atau proyek menjadi fenomena penting mengingat frekuensinya yang tinggi bagi masyarakat perdesaan (Cernea, 1988). Persoalannya bukan terutama tentang bagaimana program atau proyek diberikan, melainkan tertuju kepada bagaimana masyarakat mampu mengambil sebanyak mungkin manfaat dari program atau proyek.
Kelima, asumsi bahwa kelompok dilihat sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus. Dalam program-program pemberdayaan, tujuan pembentukan atau penggunaan kelompok ialah untuk memberi pengontrol bagi tindakan individu, atau dalam pembahasan di sini kelompok merupakan wujud penciptaan struktur untuk mengarahkan tindakan individual. Akan tetapi berdasarkan kecenderungan dalam memegang pandangan tindakan individual, maka kinerja kelompok disadari sebagai konsensus individu-individu di dalamnya, bukannya sistem aturan yang sangat kuat mengikat anggota. Dalam beragam hasil tinjauan kelompok pemberdayaan, terlihat bahwa kesuksesan (maupun kegagalan) kelompok berkaitan lebih erat dengan kinerja tindakan individu pengurusnya (Sajogyo, et. al., 1999), daripada eksistensi struktur aturan kelompok untuk mengikat anggotanya.

2.9.2         Model Penerapan Pemberdayaan Masyarakat
Ada beberapa model yang dapat dikembangkan untuk mencapai pemberdayaan masyarakat antara lain adalah,
a.   Kemitraan. Model dapat diterapkan untuk mengembangkan kerja sama dengan menekankan pada partisipasi semua stakeholder. Dalam setiap program perlu dikembangkan kerja sama antara publik sektor (eksekutif dan legestatif), sektor swasta dan sektor masyarakat (institusi lokal, lembaga adat, masyarakat sipil). Dalam kemitraan ini sektor publik adalah pihak yang bertindak sebagai penyedia fasilitas dan pendorong program. Sektor swasta sebagai penyandang dana. Sektor masyarakat bertindak sebagai pihak pelaksana. Dalam perencanaan seluruh komponen pendukung terlibat. Pada tahap pelaksanaan masyarakat lebih banyak terlibat ketimbang sektor publik dan swasta. Namun sektor publik dan swasta secara bersama-sama melakukan pemantauan dan evaluasi dan setiap saat didiskusikan dengan sektor masyarakat.
b.   Pengembangan community enterprices. Model ini adalah upaya untuk penguatan ekonomi berbasis masyarakat. Model ini didasari pada kemitraan yang mengandung upaya untuk mengembangkan potensi dan kemampuan masyarakat sesuai dengan pengetahuan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sehingga merangsang tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, dan kerjasama. Model ini juga dapat membantu pengembangan teknologi lokal sehingga dapat mengurangi ketergantungan teknologi. Menciptakan wahana untuk latihan peningkatan keterampilan dan menumbuhkembangkan jiwa kewiraswastaan. Memperkuat basis ekonomi pedesaan. Mengurangi kesenjangan ekonomi. Namun, dalam mengembangkan kegiatan usaha masyarakat (community enterprises) perlu menghindari keseragaman usaha. Yang perlu dikembangkan adalah pembagian kerja yang saling mendukung kegiatan utama. Hal ini dapat mengurangi resiko bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Di samping itu, upaya itu dapat menciptakan peluang kerja dan spesialisasi pekerjaan. Hal penting untuk pengembangan sumberdaya manusia.
c.   Komunitas belajar (learning community). Model ini dapat menciptakan proses yang cukup penting dalam upaya peningkatan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Komunitas didorong terus menerus untuk belajar secara aktif melalui pengalaman empirik dan aksi sehingga dapat meningkatkan kapasitas komunitas. Komunitas aktif ini dapat memunculkan sikap kerja yang amat diperlukan untuk meningkatkan daya saing.
2.10    Pembangunan Ekonomi Perdesaan
2.10.1.     Tinjauan Teoritis Perdesaan
Beragam sudut pandang jika kita mencermati pembangunan perdesaan. Hal ini dapat dipahami, dari dua variable pemaknaan atas desa dan pembangunan saja telah memberikan warna yang beragam. Beberapa contoh keragaman pemaknaan tersebut disajikan sebagai berikut (disarikan dari Kebijakan Strategis Pemberdayaan Masyarakat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2001) :
Beberapa konsep yang berkaitan dengan desa meliputi : rural, urban, suburban atau rurban, village, town dan city. Rural dalam “Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia-lnggeris” suntingan S. WoJowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan “seperti desa, seperti di desa” dan urban diartikan kota, seperti di kota”. Rural  atau  yang  secara  umum  diterjemahkan  menjadi “pedesaan” bukanlah desa (village). Demikian pula urban atau yang umum diterjemahkan menjadi perkotaan, juga bukan kota (town, city).
Sedangkan Koentjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat” (1977:162). Hal ini dilakukan untuk membedakannya dari masyarakat berburu dan meramu (suku terasing) yang senantiasa berpindah tempat sesuai wilayah tempat tanaman masak atau hewan perburuan berada. Desa, sebaliknya, berisi orang-orang yang bisa melakukan domestikasi ternak atau bercocok tanam tanpa perlu berpindah tempat lagi. Dengan demikian akumulasi kekayaan semakin nyata.
Egon E. Bergel (1955:121) Mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman para petani (peasants). Ini merupakan cara pandang lama yang melihat desa secara homogen sebagai tempat berkumpulanya petani. Pada kenyataannya desa sejak lama sudah bersifat heterogen dalam aspek ekonomi, sosial dan politik, meskipun tdaik sekompleks perkotaan.
Paul H. Landis (1948:12-13), mendefinisikan desa dengan cara memilah menjadi tiga macam sesuai dengan tujuan analitiknya. Untuk tujuan analisa statistik,   desa  didefinisikan   sebagai  suatu   lingkungan  yang penduduknya kurang dari 2.500 orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologik, desa  didefinisikan  sebagai  suatu  lingkungan  yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal diantara  sesama  warganya.  Sedangkan  untuk  tujuan analisa ekonomik, desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada pertanian.
Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P.E. Zop. 1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan kota, dengan mendasarkan pada : mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial. Dalam hal ini perdesaan dicirikan oleh masyarakat yang didominasi mata pencaharian di bidang pertanian, dengan ukuran komunitas kecil, tingkat kepadatan penduduk rendah, lingkungan alam relatif masih mengarahkan pola tingkah laku penduduk, diferensiasi dan stratifikasi sosial masoj sederhana, interaksi sosial masih kuat, dan solidaritas sosial masih tinggi.
Inpres nomor 5 tahun 1976 menyatakan desa adalah masyarakat hukum yang setingkat dengan nama asli lainnya dalam pengertian teritorial-administratif langsung dibawah kecamatan. Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 membedakan desa dan kelurahan dalam rumusan sebagai berikut :
Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah  penduduk sebagai  kesatuan  masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan  terendah  langsung  dibawah  Camat dan  berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 keluar  undang-undang  tentang  pemerintahan  daerah  yang  di dalamnya mengatur pula tentang pemerintahan/otonomi asli desa. Seiring dengan hal tersebut maka dengan mengingat dampak buruk dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 dan peluang untuk mengembalikan otonomi asli desa pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 maka muncul kecenderungan di berbagai daerah untuk mengembalikan  keberadaan  kelembagaan-kelembagaan yang asli sebelum diberlakukan Undang-Undang tersebut, contohnya desa-desa di Irian Jaya berubah nama menjadi Kampung dan desa-desa di Sumatera Barat berubah nama menjadi nagari. Tentu saja upaya ini tidak mungkin berupa penerapan pranata lama, karena kondisi alam, ekonomi, sosial dan politik sekitarnya telah semakin modern. Upaya ini lebih terwujud sebagai penyusunan pranata dan organisasi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal.
Sedangkan berkaitan dengan pembangunan sendiri kata pembangunan dapat dimaknai sebagai perubahan yang disengaja atau direncanakan untuk  mengubah  keadaan  yang  tidak  dikehendaki  kearah  yang dikehendaki (Raharjo, 1995). Pembangunan mengandung pengertian progresif atau gerak yang maju dan menuju kesejahteraan, bukan retrogesif atau gerak yang mundur.
Pembangunan masyarakat desa memiliki beberapa pengertian antara   lain :
a     Pembangunan masyarakat desa berarti pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern (Horton dan Hunt, 1976. Alex Inkeles. 1965).
b     Pembangunan masyarakat desa berarti membangun swadaya masyarakat  dan rasa percaya diri pada diri sendiri (Mukerjee dalam Bhattacharyya, 1972).
c      Pembangunan perdesaan tidak lain dari pembangunan usaha tani atau membangun pertanian (Mosher, 1974, Bertrand, 1958).
Meskipun demikian pada aras paradigmatik sebenarnya tidaknya banyak varian yang muncul. Tinjauan paradigmatik merupakan aras yang lebih mendalam daripada tataran teori-teori pembangunan. Dengan demikian menjadi penting untuk meninjau terlebih dahulu ragam paradigma dalam teori-teori pembangunan yang lebih umum, yang pada akhirnya turut memberi arah penyusunan ragam paradigma pembangunan yang lebih khusus di perdesaan. Dua paradigma utama pembangunan, ialah modernisasi dan keterbelakangan. Sebagai teori-teori pembangunan, keduanya melihat adanya entitas negara (wilayah, kelompok) maju dan negara terbelakang. Akan tetapi keduanya berbeda dalam memandang interaksi di antara kedua entitas sosial tersebut.
Untuk memajukan masyarakat yang terbelakang, teori modernisasi memandang perlu bagi mereka untuk menerapkan pola berpikir dan bertindak sebagaimana masyarakat negara maju. Oleh karenanya negara terbelakang harus menyusun hubungan dengan negara maju dan menjaga interaksi tersebut. Wujud dari teori-teori modernisasi ini di antaranya interaksi antara negara Indonesia dengan donor asing sebagai perwakilan dari negara maju. Rostow sempat menelorkan teori tahapan pembangunan yang diindikasikan oleh nilai investasi negara. Peningkatan kemodernan ditunjukkan oleh persentase investasi yang meningkat. Jika investasi tidak bisa diupayakan dari dalam negeri, maka negara itu harus membuka dirinya untuk berinteraksi dengan negara maju dan menerima investasi tersebut. Upaya untuk memutus hubungan dengan negara maju akan dipandang sebagai kesalahan, sekaligus dipandang akan menjauhkan Indonesia dari kemodernan.
Pandangan yang berlawanan muncul dari teori-teori keterbelakangan. Teori ini justru memandang titik permasalahan pembangunan terletak pada hubungan yang dijalin antara negara maju dan negara terbelakang. Semakin ketat hubungan tersebut, maka dominasi negara maju kepada negara terbelakang juga semakin kuat. Barangkali ada pula keuntungan yang diambil oleh negara terbelakang, namun keuntungan itu hanya diperoleh golongan elite. Kenyataannya memang elite negara terbelakang memiliki hubungan harmonis dengan elite negara maju. Akan tetapi golongan massa di negara terbelakang tidak mampu membangun interaksi dengan golongan massa di negara maju.
2.10.2.     Kemandirian Desa Sebuah Agenda
Berbeda dari pandangan modernis yang selalu melihat desa dalam hubungannya dengan kota, dalam bahasan ini akan dipahami lebih mendalam kemandirian desa. Aspek penting dari hubungan antar warga desa ialah rasa kesatuan sebagai suatu entitas sosial. Rasa kesatuan ini didukung oleh solidaritas sosial di antara mereka, baik melalui hubungan-hubungan kekerabatan maupun, yang lebih tegas lagi, melalui ikatan tempat tinggal yang berdekatan.
Solidaritas di antara warga sedesa sendiri dikuatkan melalui perkumpulan bersama yang dikelola oleh warga desa sendiri, juga dalam bidang pemerintahan (kepala desa dan aparatnya), keagamaan (guru agama lokal), pendidikan (terutama pendidikan lokal, misalnya pesantren), sampai pekuburan bersama.
Solidaritas sedesa ini bahkan mungkin lebih penting daripada ikatan di dalam keluarga atau rumahtangga (di luar urusan reproduksi). Hal ini sempat terwujud dalam interaksi yang kuat di langgar, di warung, di poskamling. Kelompok-kelompok warga desa lelaki bahkan biasa tidur di sana. Solidaritas sedesa juga terwujud dalam bentuk gotong royong maupun tolong menolong. Konsep-konsep lokal seperti gugur gunung, kerja bakti, mapalus, maposan, dan sebagainya, menunjukkan pola kerja bersama ini menempati posisi penting dalam interaksi masyarakat desa.
Sesuai dengan sejarah masyarakat masing-masing, makna desa sebagai entitas solidaritas sosial ini menemukan bentuknya secara berbeda. Desa yang tidak pernah berubah besar kemungkinan memiliki solidaritas sedesa. Sebagian desa-desa di Jawa yang dibentuk dari penyatuan beberapa desa sebelumnya, untuk mempermudah pencacahan jiwa dan penarikan pajak sejak masa penjajahan Hindia Belanda, bisa jadi menemukan solidaritasnya dalam dusun-dusunnya. Sebaliknya sebagian nagari (desa di Minangkabau) yang semula terlalu luas sehingga dipecah menjadi beberapa desa baru, mungkin justru menemukan solidaritasnya secara lintas desa.
Sebagian dari ikatan-ikatan penyusun solidaritas tersebut meliputi beberapa desa sekitar. Contohnya suatu pura di Bali dikelola oleh warga dari beragam banjar (desa asli). Begitu pula pengajian biasa menyatukan warga-warga dari desa-desa yang berdekatan di Madura.
Dalam konteks kemandirian tersebut, pola pembangunan desa yang umumnya dilaksanakan pemerintah dapat dibaca sebagai dominasi negara terhadap desa. Salah satu landasan pengetahuan ini ialah paradigma modernisasi dalam pembangunan desa. Dalam proses dominasi negara tersebut, kemandirian desa menjadi merosot.
Suatu pembacaan yang sedikit berbeda terhadap hasil pembangunan desa dapat berupa keragaman tingkat solidaritas. Pengurangan waktu untuk berinteraksi sebagai implikasi dari pembangunan dan pola kerja baru tidak merata kepada semua tingkatan. Efeknya yang teringan mungkin dapat berupa ketahanan yang tinggi dalam wujud solidaritas di tingkat desa. Implikasi yang lebih kuat dapat menurunkan solidaritas sampai pada level dusun. Implikasi yang lebih mendalam mungkin menurunkan solidaritas hanya di tingkat RT (Rukun Tetangga). Pembangunan yang massif, disertai urbanisasi, atau masuknya perumahan orang kota de dalam desa, mungkin bahkan sampai menurunkan solidaritas sebatas gang.
Perbedaan derajat solidaritas, bahkan di dalam desa di atas, dapat dibaca pula sebagai perbedaan level komunitas. Solidaritas sedesa menghasilkan komunitas desa. Solidaritas sedusun menunjukkan bahwa entitas komunitas dusun lebih penting untuk membangun interaksi antar warga, daripada di tingkat desa. Solidaritas se-RT menunjukkan bahwa komunitas terpenting di desa itu ialah di tingkat RT. Bahkan solidaritas se-gang akan menunjukkan jumlah komunitas yang sangat banyak di satu desa, karena bangunan interaksi warga menguat satu-satu per komunitas gang. Paradigma menunjuk kepada, pertama, suatu pandangan tertentu terhadap suatu entitas, atau bisa dinyatakan sebagai sisi ontologis entitas tersebut. Sisi ontologis pemberdayaan dapat merujuk kepada makna kekuasaan dan makna masyarakat sebagai pembangunan pemberdayaan tersebut.
Kedua, suatu perilaku dari entitas tersebut, yang mencakup metodologi maupun instrumen atau peralatan yang dibutuhkan untuk menggalinya, sampai kepada aksiologis beserta sekelompok orang pendukung paradigma yang dianut tersebut. Suatu revolusi paradigma memang lebih berguna bagi masa depan. Ia melihat masa depan. Begitu suatu paradigma baru diterima, dengan sendirinya ia akan mendefinisikan sendiri maka fakta-fakta yang lebih relevan untuk diambil dan dianalisis. Ia akan menentukan cara menganalisis, tentu saja sambil mengembangkan metodologi sampai teknik-teknik pengambilan dan analisis data yang baru. Dengan aksiologi yang berbeda, maka usulan kebijakan pun akan berbeda.

BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
      Masyarakat desa adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah sesuatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosial hidup bersama, bekerja sama dan berhubungan erat secara tahan lama, dengan sifat-sifat yang hampir seragam.
Istilah desa dapat merujuk arti yang berbeda-beda tergantung dari sudut pandangnya. Secara umum desa memiliki 3 unsur yaitu :
d     Daerah dan letak dalam arti tanah yang meliputi luas, lokasi.
e     Penduduknya dalam arti jumlah, struktur umur, mata pencaharian.
f       Tata kehidupan dalam arti corak, pola tata pergaulan dan ikatan warga desa.

DAFTAR PUSTAKA
Goldscheider, Calvin. 1985. Populasi,Modernisasi dan Struktur Sosial. Terjemahan oleh Algozali Usman dan Andre Bayo Ala. CV Rajawali.
Mantra, I.B. 1978. Population Movement In Wet Rice Communities : a case study of two Dukuh In Yogyakarta Special.
Lee, Eevert, 1966. Teori Migrasi. Diterjemahkan oleh Hans Daeng. Pusat Penelelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke 8.

                                                                                                










3 komentar: