TUGAS KELOMPOK
“LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS DAN
PEMECAHAN KESULITAN BELAJAR”
Diajukan untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Diagnosa/Remidial
Pembelajaran
yang diampu oleh Triyani Ratnawuri,
M.Pd
Disusun oleh:
NAMA
|
NPM
|
Dedi
Riswanto
|
11210039
|
Septia
Wati
|
11210028
|
Siti
Nur Khasanah
|
11210030
|
Uswatun
Hasanah
|
11210031
|
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
NOVEMBER
2013
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Langkah-Langkah Diagnosis dan Pemecahan
Kesulitan Belajar” ini dengan tepat
waktu.
Makalah
ini disusun bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam hal memahami
langkah-langkah diagnosis dan pemecahan kesulitan belajar. Dalam kesempatan ini
kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen
pengampu mata kuliah Diagnosa/Remidial Pembelajaran Triyani Ratnawuri, M.Pd
2. Ayah
dan ibunda kami tercinta yang telah memberi semangat dan dorongan baik secara
materi maupun non-materi.
3. Teman-teman
yang telah membantu dan memberi dukungan serta masukan hingga terselesaikannya
makalah ini.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pembaca,
sehingga kedepannya dapat lebih sempurna, semoga makalah ini dapat berguna bagi
semua pihak untuk kemajuan dalam bidang pendidikan dan menambah pengetahuan
serta dapat meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Amin.
Metro, November 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Mengidentifikasi
Murid-Murid yang
Mengalami Kesulitan Belajar
B. Melokalisasi
Jenis dan Sifat
Kesulitan Belajar Siswa
C. Memperkirakan
Sebab-Sebab Kesulitan Belajar Siswa
D. Proses
Pemecahan Kesulitan Belajar Siswa
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia
pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala usaha yang
dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan belajar. Juga
mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara
menetapkan dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif (penyembuhan)
maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang
seobyektif mungkin.
Dengan
demikian, semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan
belajar termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya diadakan diagnosis belajar karena
berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan
untuk berkembang secara maksimal. Kedua, adanya perbedaan kemampuan,
kecerdasan, bakat, minat, dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa.
Ketiga, sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa
untuk maju sesuai dengan kemampuannya. Dan keempat, untuk menghadapi
permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta BP lebih intensif
dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan
mengasah keterampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.
Berkait
dengan kegiatan diagnosis, secara garis besar dapat diklasifikasikan ragam
diagnosis ada dua macam, yaitu diagnosis untuk mengerti masalah dan diagnosis
yang mengklasifikasi masalah. Diagnosis untuk mengerti masalah merupakan usaha
untuk dapat lebih banyak mengerti masalah secara menyeluruh. Sedangkan
diagnosis yang mengklasifikasi masalah merupakan pengelompokan masalah sesuai
ragam dan sifatnya. Ada masalah yang digolongkan kedalam masalah yang bersifat
vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga, dan kepribadian.
Kesulitan belajar merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa.
Kesulitan belajar dapat diartikan suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang
ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil belajar.
Pada
dasarnya setiap kesulitan belajar selalu berlatar belakang pada
komponen-komponen yang berpengaruh pada proses belajar mengajar itu sendiri.
Burton (Sapuro, 1997: 8) mengelompokkan faktor-faktor penyebab kesulitan
belajar ke dalam dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada diri siswa itu sendiri, yang
meliputi kelemahan jasmaniah, kelemahan mental, kelemahan yang disebabkan
karena kebiasaan dan sifat yang salah, serta kurangnya keterampilan dan
pengetahuan dasar siswa. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang terdapat
di luar diri siswa, antara lain situasi belajar, sikap dan cara mengajar guru,
situasi keluarga dan lingkungan sekolah.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalahnya adalah:
A. Bagaimana
mengidentifikasi murid-murid yang mengalami kesulitan belajar?
B. Bagaimana
melokalisasi jenis dan sifat kesulitan belajar siswa?
C. Apa
yang menjadi sebab-sebab kesulitan belajar siswa?
D. Bagaimana
proses pemecahan kesulitan belajar siswa?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
tujuan penulisan makalah adalah:
1) Untuk
mengidentifikasi murid yang mengalami kesulitan dalam proses belajar.
2) Untuk
melokalisasikan jenis dan sifat kesulitan belajar siswa.
3) Untuk
mengetahui sebab-sebab kesulitan belajar siswa.
4) Untuk
mengetahui proses pemecahan kesulitan belajar siswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IDENTIFIKASI
MURID YANG MENGALAMI KESULITAN BELAJAR
Tujuan
identifikasi dalam kasus ini adalah menemukan murid yang diperkirakan mengalami
kesulitan belajar. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam mengidentifikasi
murid yang mengalami kesulitan belajar, yaitu:
1. Menandai
murid dalam satu kelas atau dalam suatu kelompok yang diperkirakan mengalami
kesulitan belajar baik yang sifatnya umum maupun khusus dalam mata pelajaran
(bidang studi). Misalnya: pelajaran IPS, IPA, Bahasa, dan sebagainya. Cara yang
dilakukan adalah membandingkan posisi atau kedudukan murid dalam kelompoknya atau dengan kriteria tingkat
penguasaan yang telah diterapkan sebelumnya (Penilaian Acuan Patokan) untuk
suatu mata pelajaran atau bahan tertentu.
2. Teknik
yang dapat ditempuh bermacam-macam antara lain:
a. Meneliti
nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic”. Kemudian dibandingkan
dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat penguasaan minimal kompetensi
yang dituntut.
b. Menganalisis
hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
c. Melakukan
observasi pada saat murid dalam proses belajar mengajar :
1. Mengamati
tingkah laku dan kebiasaan murid dalam mengikuti satu pelajaran tertentu.
2. Mengamati
tingkah laku murid dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di
dalam kelas.
3. Berusaha
mengetahui kebiasaan dan cara belajar murid di rumah melalui check list atau melalui kunjungan rumah.
d. Mendapatkan
kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas, guru pembimbing dan
lain- lain ( Entang, 1991).
Menurut
Abin Syamsudin, dalam mengidentifikasi murid yang mengalami kesulitan belajar
dapat dilakukan dengan menghimpun, menganalisis, dan menafsirkan data hasil
belajar dapat dipergunakan alternatif
acuan penilaian yaitu:
1. Penilaian
Acuan Patokan (Criterion Referenced
Evaluation)
Menafsirkan
data hasil belajar dengan Penilaian Acuan Patokan, dapat menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Menetapkan
angka nilai kualifikasi minimal yang dapat diterima (misalnya 6,7 dan
seterusnya) sebagai batas lulus (passing grade),
atau jumlah kesalahan minimal yang masih dapat dimaafkan dalam suatu penilaian.
b. Kemudian
membandingkan angka nilai (prestasi) dari setiap murid dengan nilai batas lulus
tersebut dan mencatat murid yang posisi angka nilai atau prestasinya berada di bawah
angka nilai batas lulus tersebut. Secara teoritis murid yang angka nilai atau
prestasinya berada di bawah batas lulus sudah dapat diduga sebagai murid yang
mengalami kesulitan belajar.
c. Meghimpun
semua murid yang mempunyai angka nilai atau prestasi di bawah angka minimal
nilai batas lulus tersebut. Kesemuanya mungkin akan merupakan sebagian (mayoritas),
seimbangan, sebagian kecil (minoritas) dibandingkan dengan keseluruhan populasi
kelompoknya.
d. Kalau
akan memberikan prioritas layanan kepada mereka yang diduga mengalami kesulitan
paling berat atau yang paling banyak
membuat kesalahan, sebaiknya membuat ranking dengan menyisihkan angka nilai
setiap murid yang mengalami kasus dengan angka nilai batas lulus (passing grade) sehingga akan diperoleh
angka selisih (deviasi) nya dan menyusun daftar kasus tersebut mulai dengan
murid yang angka selisihnya paling besar.
Dengan
cara demikian, akan ditemukan individu-individu murid sebagai kasus, kalau ternyata
hanya sebagian kecil dari populasi kelas, serta dapat pula ditemukan murid yang
perlu mendapatkan prioritas. Di samping itu akan ditemukan pula kelompok murid
tertentu sebagai kasus, kalau ternyata mayoritas dari populasi kelas tersebut
nilai prestasinya di bawah angka nilai batas lulus.
2. Penilaian
Acuan Norma (Norm Referenced Evaluation)
Penilaian
Acuan Norma tepat dipergunakan, apabila angka nilai batas prestasi rata-rata
yang dijadikan ukuran pembanding bagi setiap angka nilai murid bersifat
individual. Adapun teknik pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Mencari
atau menghitung angka nilai rata-rata kelas atau kelompok dengan mengoperasikan
formula yang telah dipelajari (jumlah nilai atau nilai berbobot keseluruhan
dibagi dengan jumlah anggota/populasi kelas).
b. Kemudian
menandai murid yang angka nilai prestasinya berada di bawah rata-rata prestasi
kelasnya.
c. Apabila
akan diberikan prioritas layanan bimbingan, harus dibuat ranking (menghitung
angka selisih atau deviasi nilai prestasi individual dengan angka nilai
rata-rata prestasi kelasnya).
Dengan
cara demikian akan didapatkan sejumlah murid kasus yang diduga mengalami
kesulitan belajar, karena mempunyai prestasi jauh dibawah rata-rata prestasi
kelasnya. Penilaian Acuan Norma hanya dapat menunjukkan kasus-kasus murid yang
diduga mengalami kesulitan belajar dibandingkan dengan prestasi kelompoknya.
Sedangkan tingkat pencapaian penguasaan (materi) dari suatu mata pelajaran
sukar diketahui, karena mungkin saja pada situasi tertentu nilai prestasi
seluruh murid dan kelompok yang bersangkutan ada di bawah angka lulus. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, kasus kesulitan belajar dapat dideteksi dari
catatan observasi atau laporan proses kegiatan belajar. Di antara catatan proses
belajar itu adalah:
a.
Catatan
cepat lambat (berapa lama) menyelesaikan pekerjaan (tugas)
Dalam
lembaga pendidikan tertentu, untuk bidang studi tertentu dan oleh guru tertentu
telah mulai diadakan pencatatan beberapa waktu yang secara efektif digunakan
oleh muridnya dalam memecahkan soal atau mengerjakan tugas tertentu. Dalam
konteks kelas, biasanya waktu dialokasikan untuk tiap bidang studi dan tiap jam
pelajaran tertentu (40-45 menit).
Dalam konteks tugas individual ditetapkan
berdasarkan perhitungan hari atau minggu tertentu, dengan menetapkan ancer-ancer
batas waktu akhir. Catatan ini sangat berharga sehingga dapat
menggambarkan siapa murid yang selalu lebih
cepat atau selalu terlambat (tidak sesuai dengan batas waktu yang telah
ditetapkan), di samping murid yang selalu tepat pada waktunya.
Dengan
membandingkan deviasi (berapa lama terlambat) dan frekuensi murid secara
kelompok atau dengan jalan membuat ranking, mulai dari mereka yang paling
lambat atau yang paling sering terlambat dalam penyelesaian sola-soal atau
tugas-tugas akan mempermudah bagi guru untuk menemukan kasus-kasus murid yang
diduga mengalami kesulitan belajar melalui keterlambatan tersebut.
b.
Catatan
kehadiran (presensi) dan ketidakhadiran
(absensi)
Pada
umumnya setiap guru sangat memperhatikan pencatatan kehadiran atau
ketidakhadiran dari muridnya. Frekuensi ketidakhadiran inipun merupakan
indikator berharga untuk menandai murid yang diduga mengalami kesulitan belajar,
dengan membuat ranking mulai dari yang paling banyak angka ketidakhadirannya,
maka guru lebih mudah menentukan siapa-siapa murid yang dapat dijadikan aksus.
Kemungkinan relevansi frekuensi ketidakhadiran ini akan nampak dengan
kualifikasi prestasinya (kalau hal ini diperhitungkan dalam pemberian angka
nilai).
c.
Catatan
partisipasi dan kontribusi dalam pemecahan masalah
Dalam
bidang studi tertentu yang mengutamakan penguasaan keterampilan berkomunikasi
dan berintegrasi sosial dalam pengembangan pikiran, menyanggah, menjawab dengan
argument tertentu, maka catatan partisipasi ini sangat berharga. Guru akan
memperoleh gambaran seberapa banyak aktifitas, kontribusi serta partisipasi
murid dalam kelompoknya (kelas) dengan menghitung frekuensi pembicaraan dan
segala kualifikasinya. Dengan memperhatikan angka-angka frekuensi tersebut,
guru dapat menandai siapa murid yang aktif dan pasif. Prosedurnya dapat dilakukan
sama seperti point 2 (dua) di atas.
d.
Catatan
kemampuan kerjasama dan penyesuaian sosialnya
Dalam
bidang studi tertentu, juga kepada murid kadang-kadang dituntut suatu kerja
sama dengan kelompoknya. Salah satu kondisi yang perlu ada untuk bekerjasama dalam konteks kelompok
ini ialah saling menerima, saling percaya dan saling menghargai diantara sesama
anggotanya dan juga dengan pimpinannya. Oleh karena itu catatan atau gambaran
tentang kondisi ini (sosiogram) amat penting, di mana murid yang satu memilih,
dipilih dan tidak dipilih oleh murid yang lain. Dari daftar frekuensi pilihan
atau sosiogram, guru dapat mengetahui siapa saja yang paling disenangi dan
siapa pula yang paling terisolir.
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat
dalam daftar tabel di bawah ini, yaitu kelompok yang terdiri dari 10 orang di mana
tiap orang memilih dua teman yang paling disenangi.
Secara
visual interrelasi di antara murid dalam kelompok hipotetik ini dapat
digambarkan lebih lanjut dengan memperhatikan arah anak panah pilihan itu
sebagai berikut:
1
1
2
2
3
3
4
4
5
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
Dari
tabel dan gambar di atas, nampak bahwa
terdapat satu orang murid yang terisolir, dalam pengertian tidak mempunyai teman
dekat, dengan kata lain murid nomor 6 tidak begitu disenangi oleh teman-temannya.
Sudah barang tentu satu murid inilah yang sebaiknya dijadikan kasus bimbingan
penyesuaian sosial.
Adakalanya
murid yang menjadi kasus kesulitan belajar berdasarkan analisis prestasi
belajar, juga menjadi kasus di dalam hasil analisis terhadap catatan proses
belajarnya. kalau hal itu terjadi, secara logis dapat dipahami kalau seorang murid
terdapat kesulitan di dalam melaksanakan proses belajar, maka hasil belajar
tentu kurang memadai, meskipun hal
serupa tidak selalu benar. Mungkin saja seorang murid dilihat dari segi
angka nilai prestasinya tinggi, tetapi ia merupakan murid yang terisolisir
dikelasnya. Untuk menetapkan prioritas, sebaiknya kedua hasil analisis (hasil
dan proses belajar) itu dipadukan.
B.
MELOKALISASI
JENIS DAN SIFAT KESULITAN BELAJAR
Sesudah
ditemukan individu atau murid yang dapat diduga mengalami kesulitan belajar,
maka langkah selanjutnya adalah melokalisasi jenis dan kesulitan belajar. Dalam
langkah ini ada tiga persoalan pokok yang harus dikaji yaitu:
1.
Mendeteksi
Kesulitan Belajar pada Bidang Studi
Tertentu
Sebenarnya
tidak terlalu sukar untuk mengkaji persoalan, apakah kesulitan itu terjadi pada beberapa pelajaran atau
hanya salah satu mata pelajaran tertentu saja. Dengan
membandingkan angka nilai prestasi individu yang
bersangkutan dari mata pelajaran yang lain yang diikutinya atau angka
nilai rata-rata prestasi (mean) dari setiap mata pelajaran kalau kebetulan kasus ini adalah
kelas, maka dengan mudah akan ditemukan pada mata pelajaran manakah individu
atau kelas mengalami kesulitan. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan contoh
grafik prestasi sebagai berikut:
Berdasarkan
gambar grafik di atas, maka dapat ditemukan bahwa kasus itu mengalami kesulitan belajar dalam mata pelajaran C
(Matematika), E (Bahasa Inggris), F ( Bahasa Arab) karena ternyata angka
nilai rata-rata (mean) ketiga mata
pelajaran itu paling rendah dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya.
2.
Mendeteksi
pada Kawasan Tujuan Belajar dan Bagian Ruang Lingkup Bahan Pelajaran Manakah
Kesulitan Terjadi
Dalam mendeteksi langkah ini dapat menggunakan tes diagnostik karena hakekat tes ini adalah Tes Prestasi Belajar
(TPB atau THB). Dengan demikian dalam keadaan belum tersedia tes diagnostik
yang khusus dipersiapkan untuk keperluan ini, maka analisis masih tetap dapat
dilangsungkan dengan menggunakan naskah jawaban (answer sheet) ujian tengah semester atau akhir semester.
3.
Analisis
terhadap Catatan Mengenai Proses Belajar
Hasil analisis
empiris terhadap catatan keterlambatan penyelesaian tugas, ketidakhadiran
(absensi) kurang aktif dan partisipasi, kurang penyesuaian sosial
sudah cukup jelas menunjukkan posisi dari kasus-kasus yang bersangkutan. Setelah
tiga persoalan pokok tersebut mendapat jawaban dengan pasti maka dapat
dilanjutkan langkah berikutnya, tetapi apabila belum maka dapat dilakukan cara
berikut ini:
a.
Tes
Formatif: berfungsi untuk memperbaiki proses belajar yang lebih baik dan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan murid
tentang bahan yang diajarkan dalam suatu program Satpel ( Satuan Pelajaran)
atau rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Apakah sesuai dengan tujuan
instruksional yang telah ditetapkan atau tidak. Sedang aspek yang dinilai dapat
berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan penguasaan bahan.
b.
Tes
Diagnostik: baik yang standar maupun yang disusun oleh guru. Misalnya: bidang
studi IPS, IPA, Bahasa, Pendidikan Agama dan sebagainya.
c.
Memeriksa
buku catatan harian.
d.
Memeriksa
buku catatan yang ada pada petugas bimbingan di sekolah dan guru lain yang
sesuai dengan murid yang diduga.
Pada tahap ini dapat dilakukan pula analisis dokumenter,
wawancara, observasi, tes, sosiometri dan pertemuan kasus (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
Sedangkan
prosedurnya dapat menggunakan beberapa langkah seperti:
a.
Menganalisis
hasil pekerjaan murid dalam bidang studi tertentu.
b.
Wawancara
dengan guru yang bersangkutan.
c.
Wawancara
dengan murid yang diduga mengalami kesulitan.
d.
Memberikan
tes diagnostik.
C.
MEMPERKIRAKAN
SEBAB-SEBAB KESULITAN BELAJAR
Berikut ini
guru atau konselor dihadapkan kepada masalah bagaimana menduga penyebab pola kekuatan dan kelemahan pada murid.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak dapat diambil keputusan secara
bijaksana untuk membantu murid mengatasi kesulitannya, apabila tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang apa
yang menjadi kesulitan.
Misalnya: jika kesulitan membaca yang dialami (seorang murid
sebenarnya disebabkan oleh penglihatan jauh/farsighted),
maka guru atau konselor tidak akan dapat memberikan bantuan kepadanya, meskipun
dengan mencoba memperbaiki kesulitan membaca dengan jalan memberikan jam
tambahan sesudah waktu
sekolah untuk latihan membaca. Hal ini menunjukkan kegagalan dalam mengenali sebab yang sebenarnya
menimbulkan kesulitan.
Adapun yang
menyebabkan seorang guru atau konselor tidak tepat dalam menentukan diagnosis
adalah sedikit sekali gambaran yang dimiliki tentang
sebab-sebab yang memungkinkan pola kesulitan belajar tertentu dan kurang
memiliki cara yang efektif
dalam menentukan penyebab sebenarnya di antara beberapa kemungkinan sebab atau sekurang-kurangnya,
sebab yang paling kuat atau paling berpengaruh. Dengan kata lain sacara
positif, pendiagnosis (diagnosicion) yang bijaksana dan efisien adalah seorang yang
mengetahui berbagai kemungkinan yang beralasan
tentang faktor-faktor yang mungkin merupakan sebab kesulitan belajar
seorang murid dan mengetahui cara di antara kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Sebab-sebab yang
mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar murid, dapat di golongkan
sebagai berikut, yaitu:
1.
Banyak
sebab-sebab yang menimbulkan pola gejala yang sama. Seringkali gejala-gejala
kesulitan belajar yang nampak pada seorang murid disebabkan oleh faktor-faktor
berbeda dengan
murid lain yang memperlihatkan gejala yang sama. Misalnya: dua orang murid selalu merepotkan guru dan teman-teman
didalam kelas yaitu dengan berjalan-jalan di dalam kelas, seringkali berbicara,
mencubit dan mendorong temannya, kedua anak tersebut secara dikenali sebagai hyperactive.
Tetapi apabila kasus kedua tersebut di periksa secara teliti, ternyata penyebab
tingkah laku murid yang satu dengan yang lain berbeda. Anak yang pertama bila
diperiksa secara seksama ternyata menderita alergi fisik, sedang anak yang
kedua karena lingkungan keluarga yang kurang harmonis, sehingga kurang
perhatian dan sebagainya.
2.
Banyak
pola-pola gejala yang ditimbulkan oleh sebab yang sama. Sebab yang nampaknya
sama, dapat mengakibatkan gejala yang berbeda-beda bagi murid yang berlainan.
Adanya kesesuaian antara sebab dengan kondisi tempat tinggal murid.
3.
Misalnya
dari suatu penelitian di bidang sosiologi dan kriminologi dengan mencari
korelasi antara kondisi keluarga dan kenakalan anak remaja. Ternyata para
sosiologi melaporkan bahwa sejumlah besar kenakalan remaja itu berasal dari keluarga broken
home dan keluarga miskin. Dengan mempelajari riwayat yang menjadi latar belakang anak-anak muda yang
tertangkap polisi karena keterlibatan kejahatan.
4.
Penelitian
lain terhadap anak yang mematuhi peraturan mencapai kemajuan di sekolah,
ternyata para peneliti tersebut menemukan banyak anak-anak yang berhasil itu
berasal dari keluarga broken home dan
keluarga miskin. Dengan demikian jelas bahwa sebab yang sama yaitu keluarga
miskin atau broken home tidak selalu
menimbulkan akibat-akibat atau gejala-gejala yang sama. Demikian pula dengan
aspek lain dalam dunia pendidikan.
5.
Sebab-sebab
yang berkaitan satu dengan lain. Merupakan hal yang lazim bagi seorang anak
yang mengalami kesulitan yang menimbulkan oleh suatu sebab pada permulaan
sekolah. Kesulitan-kesulitan itu menimbulkan reaksi dari orang-orang
disekelilingnya atau menyebabkan ia bereaksi terhadap dirinya sendiri dengan
cara yang selanjutnya menyebabkan timbulnya kesulitan-kesulitan yang baru.
Masalah
tersebut menimbulkan banyak lagi kesulitan-kesulitan yang lazim bagi seorang
murid yang mengalami kesulitan-kesulitan yang mengakibatkan suatu persoalan
belajar tertentu. Sebab-sebab yang semakin kompleks mengakibatkan
kesulitan-kesulitan saling berhubungan satu dengan yang lain.
Sebagai
ilustrasi dari prinsip-prinsip ini, dikemukakan kasus seorang murid laki-laki
yang ketika duduk di kelas empat menderita sakit typhus. Ia harus beristirahat di rumah selama sepuluh hari dan
dirawat oleh ibunya. Selama anak tersebut sakit, ibu lebih banyak mencurahkan
perhatian terhadapnya daripada kepada tiga adiknya. Sejak kecil baru pertama
kali itulah anak tersebut mendapat perhatian yang begitu besar dari ibunya,
sehingga merasa senang. Setelah sembuh, anak tersebut masih pura-pura sakit
selama lima hari. Setelah tidak masuk selama lima belas hari, anak tersebut
mengalami dua kesulitan di sekolah. Pertama, gagal mengerjakan sebagaian besar
tugas yang diberikan. Kedua, masih tetap lemah fisiknya, sehingga tidak memiliki
tenaga untuk belajar dengan giat seperti yang dilakukan sebelum sakit. Prestasi
yang berkurang dan tenaga yang berkurang yang biasanya menyebabkan anak
tersebut mudah tersinggung. Apabila tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
guru dan teman-temannya menegur, maka ia membalas dengan berteriak sehingga
teman-temannya lebih sering mengganggu. Tidak lama anak tersebut mengeluh lagi
karena sakit kepala, sebelum berangkat kesekolah dan mengatakan kepada ibunya untuk beristirahat di
rumah. Kemudian oleh si ibu diizinkan dan dicurahkan, perhatian lebih besar karena sakit yang baru itu. Setiap hari ia tidak masuk sehingga
makin tertinggal jauh pelajaran di sekolah.
Pola yang
demikian berlangsung terus. Sakit typhus ternyata menimbulkan
pola sebab dan akibat yang menjadi kompleks karena sebab-sebab yang saling
berkaitan merupakan tantangan bagi seorang diagnosticion,
yaitu konselor atau guru.
Faktor
penyebab kesulitan belajar menurut Abdurrahman
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar adalah faktor internal,
yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, yaitu antara lain berupa srategi
pembelajaran yang keliru, pengolahan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan yang
tidak cepat (Abdurrahman,1999).
Disfungsi
neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi dapat
menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan
kesulitan belajar antara lain adalah (1) faktor genetik, (2) luka pada otak
karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen, (3) biokimia yang hilang (misalnya
zat pewarna pada makanan), (4) pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah
hitam), (5) gizi yang tidak memadai, dan (6) pengaruh-pengaruh psikologis dan
sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Dari berbagai penyebab
tersebut dapat menimbulkan gangguan dari tarafnya ringan hingga yang tarafnya
berat.
Koestoer dalam mengidentifikasi kemungkinan sebab
kesulitan belajar dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu:
1.
Kondisi-kondisi
fisiologis yang permanen.
2.
Kondisi-kondisi
fisiologis yang temporer.
3.
Pengaruh-pengaruh
lingkungan sosial yang permanen.
4.
Pengaruh-pengaruh
lingkungan sosial yang temporer (H Koestoer Partowastro,2002).
Dalam uraian selanjutnya akan diketahui bahwa
kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak terlepas satu dengan yang lain, melainkan saling berhubungan satu sama lain.
Kemungkinan-kemungkinan sebab kesulitan
belajar kerena kondisi-kondisi fisiologis yang permanen meliputi:
a. Intelegensi
yang terbatas
Setiap anak sejak dilahirkan telah memiliki
kecerdasan yang berbeda-beda atau bervariasi, meskipun mereka telah memiliki
usia kalender yang sama tetapi kemampuan mentalnya belum tentu sama. Indeks
kecerdasan atau IQ dapat diketahui melalui tes intelegensi dan hasil tes
intelegensi tersebut diperoleh dari hasil membagi usia kecerdasan dengan usia
kalender dinyatakan dalam satuan bulanan.
Misalnya: Ahmad usia kalender15 tahun,
10 bulan (190 bulan), setelah diadakan tes intelegensi hasil usia kecerdasannya
154. Maka IQ Ahmad adalah:
Untuk kepentingan praktis IQ normal
ditentukan antara 90-100. Adapun tingkat kecerdasan anak, dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
IQ
|
Usia Kecerdasan
|
140 – ke atas
130 – 139
120 – 129
101 – 119
90 – 100
80 – 89
70 – 79
50 – 56
49 – ke bawah
|
Genius
Sangat Pandai
Pandai
Di atas normal
Normal
Di bawah normal
Bodoh
Feeble Minded = Moron Feevie
Minded – imbicile, Idiot
|
Anak moron, jarang sekali dapat mencapai
usia mental seperti tingkat usia 12 sehingga mampu melayani kebutuhan sendiri.
Melalui pendidikan di sekolah yang direncanakan secara seksama, mereka dapat
mempelajari hal-hal yang sederhana dan menguasai keterampilan yang terbatas
untuk lapangan pekerjaan yang sederhana.
Sedangkan anak yang tergolong imbicile, dapat mencapai usia dewasa
tetapi jarang sekali mencapai usia kecerdasan lebih dari tingkatan usia 8
tahun. Tetapi anak imbicile dapat
dilatih untuk melayani kebutuhannya sendiri, dan melalui bimbingan khusus dapat
menguasai keterampilan yang sederhana.
Adapun anak idiot, mempunyai kemampuan
mental paling rendah, hanya dapat mencapai kemampuan seperti anak usia 4 tahun.
Biasanya golongan anak ini tidak mencapai umur panjang karena tidak dapat
melindungi dirinya dari bahaya dan tidak mampu melayani kebutuhannya sendiri.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa
setiap golongan anak mempunyai kemampuan intelegensi yang berbeda-beda, padahal
kemampuan intelegensi tersebut sangat berpengaruh terhadap belajar anak. Anak
yang mempunyai intelegensi terbatas, kurang mampu menguasai konsep-konsep yang
abstrak dengan kecepatan sama dengan teman-temannya yang mempunyai kemampuan
intelegensi lebih tinggi.
Seorang anak yang mempunyai kemampuan
intelegensi rendah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu barangkali sewaktu
terjadi pembuahan ibu yang sedang mengandung tiga bulan menderita sakit campak
dan penyakit itu secara terus menerus merusak perkembangan sistem syaraf anak
yang masih dalam kandungan. Kasus lain yaitu ada kerusakan pada waktu lahir
pada tulang kepala yang rawan dan kerusakan-kerusakan itu mempengaruhi sel-sel
otak. Kerusakan-kerusakan di dalam kepada sesudah lahir atau menderita penyakit
mempengaruhi otak dapat juga menyebabkan hambatan kemampuan intelegensi anak
yang sedang berkembang dan belum ada yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan
itu supaya anak menjadi mormal kembali.
b. Hambatan
persepsi
Barangkali
seseorang dapat melihat dan mendengar secara jelas, tetapi ketika perangsang
penglihatan atau pendengaran sampai pada otaknya mengalami gangguan oleh
mekanisme penafsiran/persepsi image,
sehingga salah menafsirkan informasi yang diperoleh. Suatu gangguan yang ringan
dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar. Misalnya: seorang murid mengalami
kesulitan belajar dalam membaca, ternyata jika diberikan keterangan atau
penjelasan secara lisan, murid tersebut dapat menafsirkan dan dan mengingat
dengan baik. Dengan perkataan lain ia tidak mengalami hambatan mental, tetapi
hanya tidak bisa membaca. Sedangkan seorang murid yang lain, dapat membaca
dengan lancar tetapi tidak dapat memahami dengan baik. Informasi yang didengar
cukup terang, hanya saja ia tidak dapat menafsirkan artinya dengan baik.
Diantara kedua murid tersebut tidak
ada yang digolongkan mengalami hambatan mental. Mekanisme mata dan telinganya
cukup baik. Dari hasil pemeriksaan terhadap kehidupan mereka di rumah dan cara
bergaul juga tidak mengalami gangguan emosional.
Demikianlah dengan mengabaikan
hambatan mental, masalah penglihatan dan pendengaran serta ketegangan emosional
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang tidak beres pada syaraf
otak yang berhubungan dengan persepsi.
Gejala-gejala umun yang terdapat
pada sementara kasus murid-murid yang mengalami hambatan persepsi adalah:
1) Tingkah
laku yang aneh (erotic) dan tidak
berguna tanpa sebab yang jelas.
2) Bereaksi
lebih besar (violenty or strongly)
daripada biasanya.
3) Tidak
dapat mengorganisasi kegiatan-kegiatannya secara baik.
4) Mudah
tersinggung oleh segala macam perangsang kemarahan melebihi taraf kemarahan
dalam keadaan biasa.
5) Membuat
persepsi-persepsi yang salah, sering salah melihat atau mendengar sesuatu.
6) Terlalu
banyak bergerak (hyperactive), sering
berpindah-pindah tempat, mencubit teman lain, menggerak-gerakkan badan dan
banyak bicara.
7) Menunjukkan
kekacauan waktu bicara, serta sering terbentur berjalan.
8) Menunjukkan
kekacauan waktu bicara, membaca dan mendengar.
Anak yang mengalami hambatan persepsi
berbeda dengan dengan anak yang mengalami hambatan mental. Bagi anak yang
mengalami hambatan persepsi ada harapan maju seperti teman-teman seusianya.
Tujuan akhir yang dapat dicapai mengenai kemampuan mereka adalah belajar lebih
baik daripada anak yang mengalami
hambatan mental.
Murid yang mengalami hambatan persepsi
tidak dapat belajar dengan baik, jika memakai metode yang biasanya diterapkan
pada sebagian besar murid yang lain. Dengan menggunakan teknik-teknik dan
materi-materi belajar yang khusus, ada harapan murid yang mengalami hambatan
persepsi dapat mengatasi kesulitannya dan mencapai tujuan melalui pengajaran
yang berbeda.
c. Hambatan
Penglihatan dan Pendengaran
Indera
yang terpenting untuk belajar di sekolah adalah penglihatan dan pendengaran.
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata dalam kegiatan komunikasi penggunaan
panca indra oleh individu menunjukkan prosentase sebagai berikut:
1) Indera
rasa 1%
2) Indera
peraba 1½%
3) Indera
pencium 3½%
4) Indera
rungu 11%
5) Indera
penglihatan 83%
Angka prosentase di atas menunjukkan
bahwa indera penglihatan bekerja lebih banyak dalam arti frekuensi
penggunaannya dalam belajar sebagian besar melalui mata. Sedangkan indera rungu
menduduki tempat kedua, sehingga apabila kedua angka prosentase itu di gabungkan
maka frekuensi penggunaannya 94% dari kegiatan penggunaan indera seseorang.
Jadi indera penglihatan dan pendengaran memegang peranan yang penting dalam
kegiatan belajar.
Apabila mekanisme mata atau telinga
kurang berfungsi, maka kesan yang diperoleh seorang anak dari guru akan
menyimpang atau bahkan tidak memperolehnya. Jadi setelah guru menyajikan
pelajaran, terdapat murid yang gagal mempelajari, penyebabnya mungkin mata atau
telinga murid tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ia tidak pernah menerima
dalam otaknya suatu image yang benar
mengenai penglihatan dan suara-suara sewaktu guru mengajar. Oleh karena itu
jika guru dalam menilai pengetahuan atau keterampilan seseorang murid menemui penyimpangan atau hasilnya jauh
berkurang dari apa yang diharapkan, maka kesalahan itu mungkin terletak pada
alat-alat inderanya.
Jadi seorang guru sebaiknya mengecek
mata atau telinga murid-murid, untuk mengetahui apakah organ-organ itu perlu
diobati agar dapat belajar dengan baik.
Ad 2. Kondisi-kondisi
fisiologis yang temporer
Kemungkinan-kemungkinan
sebab kesulitan belajar karena kondisi-kondisi fisiologis yang temporer
meliputi:
a. Masalah
makanan
Pada
waktu tubuh seseorang bekerja secara efisien maka diperlukan struktur yang baik
seperti mata yang baik, otak yang sehat dan pengisian (supply) bahan bakar atau makanan yang cukup dan bergizi untuk
membentuk tubuh. Segenap anggota tubuh memerlukan barbagai zat yang didapat
dari makanan. Kerusakan jaringan-jaringan di dalam tubuh terjadi secara terus
menerus. Kerusakan-kerusakan tersebut dipulihkan kembali oleh bermacam-macam
zat yang terdapat dalam makanan.
Dengan
demikian jelas bahwa anak yang kekurangan vitamin, protein atau kekurangan
subtansi lain yang diperlukan, maka dampak negatifnya akan merasa cepat capai,
tidak dapat memusatkan perhatian terhadap kegiatan belajar.
b. Kecanduan
(Drugs)
Alkohol,
ganja dan sejenisnya dapat menimbulkan ketagihan. Pada mulanya kebiasaan itu
kelihatannya tidak berbahaya dan gampang ditinggalkan, tetapi sebelum bahaya
itu disadari, kuasa kemauan sudah hilang sehingga kebiasaan itu tidak dapat
ditinggalkan.lagi.
Misalnya: kasus yang
dialami Sali yaitu pernah mencoba minuman keras yang berasal dari
teman-temannya, sehingga ia merasa ketagihannya bertambah besar dan tidak dapat
memusatkan perhatian, tidak dapat menyelesaikan pekerjaan rumah serta sulit
memahami konsep-konsep baru.
c. Kecapaian/kelelahan
Kondisi
fisiologis pada umumnya sangat mempengaruhi prestasi belajar seseorang. Orang
dalam keadaan sehat jasmaninya akan berbeda hasil belajarnya dengan orang yang
kondisi jasmani dalam keadaan lelah. Seorang dalam kondisi kelelahan tidak
mudah menerima pelajaran, bahkan mudah mengantuk, sehingga prestasi belajarnya
rendah.
Ad 3. Pengaruh-pengaruh
lingkungan sosial yang permanen
a. Harapan
orang tua terlalu tinggi, tidak sesuai dengan kemampuan anak
Setiap orang tua mengharapkan agar anaknya berhasil
dalam studi, meskipun kadang-kadang tanpa memperhatikan kemampuan atau taraf
intelegensi anak tersebut. Misalnya: kasus ayah dari Ahmad yang mengharapkan
agar anaknya menjadi bintang kelas. Ahmad telah berusaha memenuhi keinginan
ayahnya dengan belajar giat, tetapi usahanya gagal meskipun sebenarnya ia
tergolong anak yang mempunyai taraf intelegensi normal. Hal itu tidak memuaskan
ayahnya sehingga didesak dan diancamnya Ahmad. Meskipun giat berusaha ternyata
Ahmad tetap tidak berhasil menjadi bintang kelas. Perasaan tertekan menyebabkan
Ahmad benci kepada ayahnya, sehingga secara disadari maupun tidak Ahmad berlaku
kurang baik di sekolah dengan maksud untuk membalas sikap ayahnya. Sang ayah
menganggap keberhasilan Ahmad sebagai bintang kelas sedemikian pentingnya, maka
berlaku buruk di sekolah merupakan suatu cara bagi Ahmad untuk membalas atau
menghukum ayahnya. Akibat lain dari tekanan ayahnya membuat Ahmad memandang
dirinya semakin kecil, merasa tidak mampu karena keinginan-keinginan ayahnya
tidak terlaksana. Di sekolah Ahmad mulai berbuat sesuai dengan image terhadap dirinya sendiri sebagai
anak yang sangat bodoh. Selanjutnya Ahmad mengembangkan self image yang buruk dan ia berbuat sedemikian rupa seolah-olah image itu merupakan evaluasi yang benar
tentang dirinya sendiri. Ia mempunyai kesan yaitu telah gagal dalam studinya
oleh karena itu ia melanjutkan kegagalannya.
b. Konflik
keluarga
Tiap orang pasti mencita-citakan membangun rumah
tangga yang bahagia diliputi suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih mengasihi (rahmah).
Hubungan antara orang tua yang harmonis akan menciptakan suasana tenang,
sehingga anak akan tumbuh secara seimbang (Abdul Azis el Quusy, 1994).
Sebaliknya jika sering terjadi pertengkaran antara
kedua orang tua akan mengakibatkan kegoncangan rumah tangga sehingga hal ini
akan mengganggu pertumbuhan jiwa anak. Mungkin saja pertengkaran itu terjadi
karena faktor ekonomi atau dalam cara mendidik sehingga anak akan memihak
kepada salah satu orang tua dan menentang yang lainnya. Konflik keluarga yang
demikian menyebabkan anak mengalami kecemasan batin sehingga menimbulkan
kesulitan belajar.
Misalnya: Kasus Amir. Amir mempunyai lima saudara
kandung tetapi diantara kedua orang tuanya tidak ada keharmonisan. Ibu sering
marah kepada ayah karena tidak mau mencari pekerjaan yang menghasilkan uang
banyak, karena itu ibu menuduh ayah senang hidup melarat, sebaliknya ayah
mencela ibu karena tidak memelihara kebersihan rumah. Kadang-kadang pada malam
hari ayah tidak pulang, ketika esok hari tiba di rumah maka ibu menuduh ayah
berbuat serong dengan wanita lain. Di dalam keluarga ini terdapat ketegangan
emosional sehingga Amir dan saudara-saudarnya merasa tidak aman didalam rumah.
Suasana yang demikian dibawa Amir ke sekolah, sehingga ia mengalami kesulitan
untuk memusatkan perhatian terhadap pelajaran, karena terus menerus merasa
cemas kalau orang tuanya akan bertengkar lagi setelah ia pulang dari
sekolah.
Dari contoh kasus tersebut di atas dapat diketahui
bahwa kegoncangan atau konflik keluarga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan anak mengalami kesulitan belajar di sekolah.
Ad 4. Pengaruh-pengaruh
lingkungan sosial yang temporer
a. Ada
bagian-bagian dalam urutan belajar yang belum dipahami
Murid akan terdorong mempelajari hal baru, jika
telah memiliki bekal yang merupakan prasarat bagi pelajaran itu. Apabila guru
mengabaikan hal ini bisa menimbulkan kesulitan belajar murid dan murid akan
frustasi terutama mereka yang mengalami kesulitan dalam menguasai materi
pelajaran.
Misalnya: Murid belajar bidang studi bahasa Arab
yang terdiri dari sebuah seri konsep-konsep dimana sebuah konsep diperlukan
sebagai dasar konsep berikutnya, oleh karena itu murid akan bingung sehingga
prestasi belajarnya akan merosot.
Konsep seperti itu diperlukan dalam urutan belajar,
tetapi tidak untuk semua bidang studi. Kehilangan satu konsep dalam bidang
studi matematika biasanya tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari
konsep-konsep yang diajarkan berikutnya.
Kehilangan perbendaharaan kata atau satu kata kerja
dalam bidang studi bahasa tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari kata-kata
lain dan masih dapat menguasai sebagian besar bidang studi bahasa secara baik.
Demikianlah Amir mungkin gagal untuk menguasai satu atau dua konsep yang
penting dalam bidang studi Bahasa Arab selama minggu kedua atau ketiga,
sehingga ia merasa gagal. Mungkin pula ia takut kepada guru untuk minta
pelajaran sekali lagi. Maka dalam minggu-minggu selanjutnya ia merasa kacau
sehingga waktu yang ada hanya dihabiskan untuk melamun saja, dengan demikian
semakin banyak urutan konsep yang hilang.
Jadi di sini jelas terlihat bahwa seorang yang mengalami
kesulitan belajar dalam suatu bidang studi tertentu mungkin disebabkan ada
bagian-bagian dalam urutan belajar yang belum difahami.
b. Kurang
adanya motivasi
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong
seseorang untuk belajar. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis
yang mendorong seseorang untuk belajar. Adanya motivasi dapat mendorong belajar
sebaliknya kurang adanya motivasi akan memperlemah semangat belajar. Motivasi
belajar ini sangat erat hubungannya dengan adanya suatu kebutuhan. Misalnya:
Supardi merasa tidak begitu penting menguasai matematika bila, dibandingkan
dengan interest-interest lain dalam
kehidupannya. Karena itu ia merasa malas atau enggan menggunakan waktunya untuk
mempelajari konsep-konsep matematika. Dengan perkataan lain ia tidak memiliki
motif yang cukup kuat, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam belajar
matematika.
Dalam hal ini tugas utama guru bukan hanya
menerangkan hal-hal yang terdapat dalam buku saja tetapi juga memberikan
dorongan dan bimbingan kepada murid-muridnya agar mereka dapat mencapai tujuan
perbuatan belajar murid. Tujuan perbuatan belajar murid harus disesuaikan
dengan tujuan pengajaran yang diinginkan untuk dicapai murid yang dicantum
dalam kurikulum.
Untuk itu guru harus dapat mengerahkan motif
tersebut guna menghasilkan perbuatan belajar yang baik. Dengan perkataan lain,
guru harus pandai membangkitkan motif belajar murid, kemudian memberikan
motivasi kepada murid, tetapi dapat sesuai dengan tujuan kurikulum sekolah yang
bersangkutan.
Dari uraian untuk “memperkirakan sebab-sebab
kesulitan belajar” tersebut di atas,
jelas bahwa dalam mendiagnosis kesulitan-kesulitan belajar murid sebaiknya,
guru atau konselor membuat sebuah daftar kemungkinan-kemungkinan seperti
tersebut di atas, untuk dipertimbangkan daripada hanya memikirkan satu atau dua
sebab yang serupa lalu menarik kesimpulan bahwa sebab-sebab itulah yang
menimbulkan kesulitan-kesulitan belajar.
D. PROSES PEMECAHAN
KESULITAN BELAJAR
Adapun langkah-langkah dalam proses
pemecahan kesulitan belajar meliputi:
1) Memperkirakan
kemungkinan bantuan
2) Menetapkan
kemungkinan cara mengatasi
3) Tindak
lanjut
Ad 1. Memperkirakan
kemungkinan bantuan
Kalau letak kesulitan yang dialami murid sudah
dipahami baik jenis dan sifat kesulitan dengan berbagai macam latar belakangnya
maupun faktor-faktor penyebabnya, maka guru atau konselor akan memperkirakan:
a. Apakah
murid tersebut masih mungkin ditolong untuk mengatasi kesulitannya atau tidak.
b. Berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami murid
tertentu.
c. Kapan
dan di mana pertolongan itu dapat diberikan.
d. Siapa
yang dapat memberikan pertolongan atau bantuan.
e. Bagaimana
cara menolong murid yang efektif, sehingga murid dapat mengatasi kesulitan.
f. Siapa
saja yang harus dilibatkan dalam menolong murid dan apakah sumbangan atau
peranan yang dapat diberikan oleh masing-masing pihak.
Ad 2. Menetapkan
kemungkinan cara mengatasi
Dalam langkah ini perlu diadakan dari
rapat staf bimbingan dan konseling jika diperlukan. Setelah hal itu
dilaksanakan maka perlu disusun suatu rencana yang berisi tentang beberapa
alternatif yang mungkin dilakukan untuk mengatasi kesulitan yang dialami murid.
Rencana itu hendaknya berisi:
a. Cara-cara
yang harus ditempuh untuk menyembuhkan kesulitan yang dialami murid.
b. Menjaga
agar kesulitan yang serupa jangan sampai terulang lagi.
Alangkah baiknya kalau rencana ini dapat
didiskusikan dan dikomunikasikan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
pemberian bantuan tersebut. Misalnya: Kepala Sekolah, guru kelas atau guru
bidang studi, orang tua murid, konselor dan sebagainya. Pada dasarnya secara
khusus kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh guru bidang studi yang mengetahui
secara persis tentang berbagai kesulitan yang dialami oleh seorang murid dalam
mata pelajarannya.
Ad 3. Tindak lanjut
Tindak lanjut adalah kegiatan melakukan
pengajaran remedial (remedial teaching) yang diperkirakan paling tepat dalam
membantu murid yang mengalami kesulitan belajar. Kegiatan tindak lanjut ini
dapat berupa:
a. Melaksanakan
bantuan berupa pengajaran remidial (remedial
teaching) pada bidang studi tertentu yang dilakukan oleh guru, pada mata
pelajaran tertentu yang dilakukan oleh guru, yang dapat dibantu oleh guru
pembimbing atau konselor dan pihak lain yang dianggap dapat menciptakan suasana
belajar murid yang penuh motivasi.
b. Pembagian
tugas dan peranan orang-orang tertentu (wali kelas dan guru pembimbing) dalam
memberikan bantuan kepada murid dan kepada guru yang sedang melaksanakan
kegiatan pengajaran remedial.
c. Senantiasa
recek dan mencek kemajuan yang dicapai murid baik pemahaman mereka terhadap
bantuan yang diberikan berupa bahan, maupun mencek tepat guna dari program
remedial yang dilakukan untuk setiap saat diadakan revisi. Dalam pelaksanaan
pemberian bantuan hendaknya dilakukan secara kontinyu dan setiap kegiatan
seharusnya senantiasa disertai dengan pencatatan yang tepat.
d. Mentransfer
murid yang diperkirakan tidak mungkin ditolong karena di luar kemampuan atau
wewenang guru atau konselor. Transfer kasus semacam itu bisa dilakukan kepada
orang lain atau lembaga lain (psikolog, psikiater, lembaga psikologi dan
sebagainya) yang diperkirakan dapat dan lebih tepat membantu murid yang bersangkutan.
Setelah murid mendapat bantuan maka
dapat dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
a. Men-tes
hasil belajar murid dalam bidang studi yang dianggap sulit.
b. Melakukan
wawancara dengan murid yang bersangkutan untuk mengetahui pendapat murid tentang
kesulitannya.
c. Wawancara
dengan guru dan orang tua mengenai perubahan yang telah terjadi.
d. Menganalisa
hasil belajar yang telah dicapai dan informasi lainnya.
e. Observasi
kegiatan murid dalam belajar (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).
Dengan demikian langkah-langkah dalam mendiagnosis
kesulitan belajar telah selesai, sebagai bagian integral adalah pengajaran
remedial. Tentang masalah ini dapat dikaji dalam bab berikutnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Mengidentifikasi
murid yang mengalami kesulitan belajar dapat dilakukan dengan menghimpun,
menganalisis dan menafsirkan data hasil belajar dapat di pergunakan
alternatif acuan penilaian yaitu :
Penlaian Acuan Patokan (Criterion
Referenced Evaluation), Penilaian
Acuan Norma (Norm Referenced Evalution).
Sesudah ditemukan
individu atau murid yang dapat diduga mengalami kesulitan belajar, maka langkah
selanjutnya adalah melokalisasikan jenis dan kesulitan belajar. Dalam langkah
ini ada tiga persoalan pokok yang harus dikaji yaitu: mendeteksi kesulitan
belajar pada bidang studi tertentu,
mendeteksi pada kawasan tujuan belajar dan bagian ruang lingkup bahan pelajaran
manakah kesulitan terjadi, analisis terhadap catatan mengenai proses belajar.
Faktor penyebab
kesulitan belajar menurut Abdurrahman
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar adalah faktor internal,
yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengolahan kegiatan
belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan yang
tidak cepat (Abdurrahman,1999).
Langkah-langkah dalam proses pemecahan kesulitan
belajar meliputi: memperkirakan
kemungkinan bantuan, menetapkan
kemungkinan cara mengatasi, dan
tindak lanjut.
SOAL
1. Pilihan Ganda
1. Mengidentifikasi
murid yang mengalami kesulitan belajar dapat di lakukan dengan menghimpun,
menganalisis, dan menafsirkan data hasil belajar dapat dipergunakan alternatif
acuan penilaian. Ini adalah pendapat...
a.
Abin Syamsudin
b.
Amir Syarifudin
c.
Bahar Saifudin
d.
Koestoer Partowisastro
e.
Abdurrahman
2.
Ada beberapa persoalan pokok yang harus
dikaji/dideteksi dalam melokalisasi jenis dan sifat kesulitan belajar, kecuali...
a.
bidang studi tertentu
b.
kawasan tujuan belajar
c.
bagian ruang lingkup bahan pelajaran
d.
analisis catatan mengenai proses belajar
e.
salah semua
3. Ahmad
adalah anak yang memiliki taraf intelegensi normal. Namun, ia mengembangkan self image yang buruk terhadap dirinya
sendiri. Ini akibat desakan ayahnya yang menginginkaan Ahmad menjadi bintang
kelas namun tidak terwujud. Kasus ini
merupakan contoh salah satu sebab kesulitan belajar menurut Koestoer yaitu...
a.
kondisi fisiologis yang permanen
b.
kondisi fisiologis yang temporer
c.
pengaruh lingkungan sosial yang temporer
d.
pengaruh lingkungan sosial yang permanen
e.
semua benar
4. Dibawah
ini yang tidak termasuk dalam kondisi-kondisi fisiologis yang permanen adalah..
a.
intelegensi yang terbatas
b.
intelegensi super
c.
hambatan persepsi
d.
hambatan penglihatan
e.
hambatan pendengaran
5. Terdapat
beberapa langkah dalam proses pemecahan kesulitan belajar, yang salah satu
kegiatannya adalah remedial teaching. Kegiatan tersebut termasuk dalam langkah
??
a.
memperkirakan kemungkinan bantuan
b.
menetapkan kemungkinan cara mengatasi
c.
tindak lanjut
d.
diagnosis kesulitan belajar
e.
semua salah
JAWABAN
1. A
2. E
3. D
4. B
5. C
2. ESAI
1.
Sebutkan langkah-langkah dalam
menafsirkan data hasil belajar dengan penilaian acuan patokan??
2.
Jelaskan tiga sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan
belajar murid??
3.
Mengapa makanan menjadi salah satu sebab kesulitan belajar siswa?? Jelaskan !!
4.
Apa sajakah yang menjadi sebab kesulitan belajar dalam kategori pengaruh-pengaruh lingkungan sosial yang
temporer??
5.
Sebutkan langkah-langkah diagnosis dalam
pemecahan kesulitan belajar??
JAWABAN
1. Langkah-langkah
dalam menafsirkan data hasil belajar
dengan penilaian acuan patokan yaitu:
a. Menetapkan
angka kualifikasi minimal yang dapat diterima (misalnya 6,7 dan seterusnya)
sebagai batas lulus (passing grade)
atau jumlah kesalahan minimal yang masih dapat dimanfaatkan dalam satu
penilaian.
b. Kemudian
membandingkan angka nilai (prestasi) dari setiap murid dengan nilai batas lulus
tersebut akan mencatat murid yang posisi angka nilai atau prestasinya berada
dibawah angka nilai batas lulus tersebut.
c. Menghimpun
semua murid yang mempunyai angka nilai atau prestasi dibawah angka minimal
nilai batas lulus tersebut.
d. Kalau
akan memberikan prioritas layanan kepada mereka yang diduga mengalami kesulitan
paling berat atau yang paling banyak membuat kesalahan, sebaiknya membuat ranking.
2. Tiga
sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar murid:
ü Banyak sebab-sebab yang menimbulkan pola gejala yang sama. Seringkali gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak
pada seorang murid disebabkan oleh faktor-faktor berbeda dengan murid lain yang memperlihatkan gejala yang sama.
Misalnya: dua orang murid selalu merepotkan guru dan teman-teman
didalam kelas yaitu dengan berjalan-jalan di dalam kelas, seringkali berbicara,
mencubit dan mendorong temannya, kedua anak tersebut secara dikenali sebagi hyperactive. Tetapi apabila kasus kedua
tersebut di periksa secara teliti, ternyata penyebab tingkah laku murid yang
satu dengan yang lain berbeda. Anak yang pertama bila diperiksa secara seksama
ternyata menderita alergi fisik, sedang anak yang kedua karena lingkungan
keluarga yang kurang harmonis, sehingga kurang perhatian dsb.
ü Banyak pola-pola gejala yang ditimbulkan oleh sebab yang sama. Sebab yang nampaknya sama, dapat mengakibatkan gejala yang berbeda-beda bagi murid yang berlainan.
Adanya kesesuaian antara sebab dengan kondisi tempat tinggal murid.
ü Misalnya dari suatu penelitian di bidang sosiologi dan
kriminologi dengan mencari korelasi antara kondisi keluarga dan kenakalan anak remaja. Ternyata para
sosiologi melaporkan bahwa sejumlah besar kenakalan remaja itu berasal dari keluarga broken
home dan keluarga miskin. Dengan mempelajari riwayat yang menjadi latar belakang menjadi anak-anak muda yang
tertangkap polisi karena keterlibatan kejahatan.
3. Makanan
menjadi salah satu sebab kesulitan belajar siswa karena pada waktu tubuh
seseorang bekerja secara efisien maka diperlukan struktur yang baik seperti
mata yang baik, otak yang sehat dan pengisian (supply) bahan bakar atau makanan yang cukup dan bergizi untuk
membentuk tubuh. Segenap anggota tubuh memerlukan berbagai zat yang didapat
dari makanan. Kerusakan jaringan-jaringan di dalam tubuh terjadi secara terus
menerus. Kerusakan-kerusakan tersebut dipulihkan kembali oleh bermacam-macam
zat yang terdapat dalam makanan. Dengan demikian jelas bahwa anak yang kekurangan
vitamin, protein, atau kekurangan subtansi lain yang diperlukan, maka dampak
negatifnya akan merasa cepat capai, tidak dapat memusatkan perhatian terhadap
kegiatan belajar.
4. Yang
menjadi sebab kesulitan belajar dalam kategori pengaruh-pengaruh lingkungan
sosial yang temporer yaitu:
·
Ada bagian-bagian dalam urutan belajar
yang belum dipahami
·
Kurang adanya motivasi
5. Langkah-langkah
diagnosis dalam
pemecahan kesulitan belajar yaitu:
a. Identifikasi
murid yang mengalami kesulitan belajar
b. Melokalisasi
jenis dan sifat kesulitan belajar
c. Memperkirakan
sebab-sebab kesulitan belajar
d. Proses
pemecahan kesulitan belajar
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi, Diagnosis Kesulitan Belajar dan Bimbingan
Terhadap Kesulitan Belajar Khusus, Jogyakarta: Nuha Litera, 2010.
Abdurrahman,
Mulyono, Didaktik Metodik Pendidikan Umum,
Surabaya: Usaha Nasional, Tanpa Tahun.
EL Quusy,
Abdul Aziz, Pokok-pokok Kesehatan
Jiwa/Mental, Alih Bahasa DR. Zakiah Daradjat, Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1974.
Entang, Diagnosis Kesulitan dan Pengajaran Remidial,
Jakarta: Departemen P & K.
Partowisastro,
H. Koestoer, Diagnosa dan Pemecahan
Kesulitan Belajar, jilid 1, Jakarta: Penerbit Erlangga. 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar